Magnolia

Fitri F. Layla
Chapter #3

Bab 3 (Bunga yang Dipetik)

Semester baru dimulai seperti neraka. Aku tahu bahwa sisa tahunku di sana tidak akan berjalan lancar. Kucoba untuk fokus pada pelajaran dan mencoba berbaur seperti saat aku baru pindah. Namun bedanya, aku diacuhkan. Terkadang aku dipanggil untuk memainkan satu permainan, meski aku tahu, ajakan mereka hanya untuk menggenapkan jumlah anak yang bermain. Dijadikan anak buangan selama berbulan-bulan lambat laun membuatku terbiasa menyendiri. Aku lebih memilih tetap di kelas, membuka buku pelajaran dan mempelajari kembali apa yang baru saja di ajarkan. Menghafal tanggal-tanggal penting dalam pelajaran IPS, atau mengagumi gambar planet-planet yang ada di buku paket IPA. Meski seharusnya bab itu baru di ajarkan di penghujung tahun. Dan tentu saja, bagian tersulitnya adalah memahami konsep rumus matematika. Sejujurnya aku tak terlalu suka matematika. Tapi pelajaran itu yang membuatku cukup teralihkan dari keinginan bermain dengan yang lain.

Satu-satunya yang kusuka adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Mengarang, atau meneruskan cerita dari satu paragraf adalah favoritku. Andaikan saja setiap hari ada pelajaran tersebut. Setidaknya kutemukan pelipur lara di saat-saat kesepian.

Selama satu semester aku bertahan dan tetap menduduki peringkat kedua. Sebenarnya, terkadang kutemukan beberapa teman yang tak begitu tajam sifatnya padaku. sesekali kami ke kantin bersama atau saling mengantar ke toilet di tengah jam pelajaran. Namun saat di ujung semester, semua kembali menjadi sosok-sosok yang menakutkan. Aku seperti anak ayam yang tersesat masuk ke sarang musang. Tatapan yang dihujamkan padaku terlalu mengerikan seolah nyaris melahap keberadaanku.

“Semuanya dengar, tidak?” seru Pak Budi di pagi pertama kami naik ke kelas enam. Suatu hari kudengar bahwa Pak Budi memang selalu menjadi wali kelas untuk anak-anak kelas enam. dan kebetulan, hanya ada satu kelas untuk kelas enam di tahunku. “Sepulang sekolah, kalian harus belajar kelompok sesuai dengan yang saya bagi tadi. Tentukan sendiri di rumah siapa kalian belajar kelompok.”

Kuacungkan tangan setelah kuberanikan, “Pak Budi, kalau saya tidak ikut belajar kelompok bagaimana?” tanyaku yang langsung disambut tatapan mata satu kelas.

“Kenapa?” tanya Pak Budi seraya berkacak pinggang. Gestur khas yang sering ia tunjukkan pada kami.

“Sekolah pulang jam dua siang, Pak. Biasanya saya sampai di rumah jam setengah tiga lebih. Setelah istirahat sebentar saya ikut ngaji sore, Pak.” Jarak antara rumah dan sekolah terpaut cukup jauh. Aku harus naik angkot sampai di depan kantor kelurahan dan jalan kaki sejauh satu kilometer hingga sampai rumah. Dengan adanya belajar kelompok, terpaksa aku harus pulang setelah ashar. Belum lagi rumah teman satu kelompokku berada cukup jauh.

“Ooh, jadi kamu mau jadi pinter sendiri?”

“Nggak, Pak. Nggak. Rumah teman-teman juga jauh jadi…”

“Heh Darren, rumahmu daerah mana?” potong Pak Budi.

“Sendangsari, Pak.”

“Teman belajar kelompokmu rumahnya mana saja?”

“Ada yang Kalisari dan Majapahit.”

“Jauh to dari rumahmu?”

“Jauh, Pak.” Pak Budi langsung memandangiku tajam.

Lihat selengkapnya