Kakiku bergerak-gerak cemas dengan tangan yang saling meremas. Ruangan persegi yang nyaris persis dengan ruang Dokter Hadi memancarkan sinar lampu bercahaya putih yang lembut. Berbeda dengan ruang poli penyakit dalam, ruangan poli kesehatan jiwa tak memiliki jendela. Hanya ada meja dokter dan kursi di depannya. Kursi yang kini kududuki. Dokter Evi mungkin berusia lima puluhan akhir. Tampilannya sama persis seperti dokter-dokter pada umumnya. Ia tersenyum menyambut kedatanganku sembari menulis pada buku riwayat pasien.
“Mbak Lia ya. Baru pertama kali kesini.” kata Dokter Evi membuka sesi. Kali ini giliran aku yang tersenyum dan mengangguk.
“Iya.” Aku menjawab.
“Sebelumnya pasien Dokter Hadi, lalu dipindah kesini. Ada apa ini Mbak Lia? Apa yang dirasakan, ada masalah apa atau ada trauma?” tanya Dokter Evi dengan suara lembut. Namun, senyumku meluntur dengan sendirinya. Kata ‘trauma’ seolah membuatku tenggelam dalam pusaran yang mengerikan. Sepintas-sepintas banyak kenangan terbersit di kepala. Dan hanya dalam hitungan detik, nafasku memberat seolah kewalahan.
“Saya … mungkin … punya trauma.” ucapku lirih.
“Sudah berapa lama traumanya? Baru-baru ini atau beberapa bulan yang lalu?”
Aku terdiam sesaat lalu menjawab “Tujuh belas tahun yang lalu.”
***