Magnolia

Fitri F. Layla
Chapter #6

Bab 6 (Seperti Hangatnya Musim Semi)

 Empat tahun berlalu begitu cepat. Masih kuingat langkah pertamaku yang takut-takut berada di tempat baru, kini naik ke atas panggung, berpidato Bahasa Inggris sebagai perwakilan Angkatan. Aku tak lagi takut menahan diri untuk menjadi diriku sendiri. Dan berprestasi di pelajaran-pelajaran yang kuminati. Belum lagi kemampuan menulisku yang terasah di pesantren. Seminar-seminar kepenulisan, ilmu jurnalistik, atau menulis cerita-cerita fiksi tak pernah kutinggal. Dari situ aku tahu bahwa keinginanku menjadi penulis melejit tajam.

Sorak sorai dan tepuk tangan mengikutiku saat turun panggung. Punggungku ditepuk oleh panitia acara penutupan tahun ajaran yang diikuti penerimaan rapor. Nilaiku selalu memuaskan. Jika pun ada yang gagal dalam mata pelajaran tertentu, aku tak menyesalinya. Aku tetap bahagia.

“Nanti kamu dijemput jam berapa sama Ayahmu?” tanya Hamida yang kini menjadi sahabat terdekatku. Dia satu-satunya orang yang pernah kuceritakan tentang apa yang pernah terjadi padaku di masa SD. Aku hampir menangis saking terharunya begitu tahu sikapnya yang malah mencak-mencak tidak karuan dan bertekad mencari akun facebook anak-anak sekelasku yang pernah merundungku kala itu.

“Teman-temanmu itu bukan teman. Mereka sampah. Sampah bau. Astaghfirulloh nggak boleh gitu Hamida. Tapi mereka lebih bau dari sampah paling bau.” ucapnya menggebu-gebu. “Tapi kok aku juga heran lho, kok ada guru kaya guru kamu itu. Guruku baik-baik banget soalnya waktu SD. Guru-guru kita di sini juga baik banget kan?”

 “Hei. Kok bengong.” Hamida menepuk bahuku menyadarkanku dari lamunan sesaat.

“Ah itu, dijemput jam empat sore.” jawabku.

“Libur di rumah tetep kontek-kontekan ya. Haduh aku nggak sabar banget sampe rumah. Kangen banget.”

Aku tersenyum karena mengerti perasaan yang Hamida rasakan. Aku pun juga serindu itu dengan rumah. Ayah, Ibu, Adik-adik. Bahkan Ibu baru melahirkan lagi bulan lalu. Nggak sabar rasanya melihat adik baruku itu. Cantikkah? Gendutkah? Kata Ibu di telepon, matanya bulat seperti kelereng dan pipinya kemerah-merahan. Lain dengan Bunga yang memiliki wajah ramping, dia adik manis yang manjanya minta ampun. Meski begitu, aku kangen dengan sifat manjanya yang tak kutemui enam bulan sejak liburan sekolah terakhir.

“Lia, sampai ketemu lagi habis lebaran, ya.” seru teman sekelasku seusai penerimaan rapor. Ia menepuk punggungku keras sampai aku menggeliat kesakitan.

Lihat selengkapnya