Magnolia

Fitri F. Layla
Chapter #8

Bab 8 (Roda-roda yang Berputar)

Suara lantunan ayat Al-Qur’an diputar persis pada jam setengah empat. Mataku terbuka perlahan sambil meregangkan tubuh dan tak sengaja menyenggol kaki Hamida yang tidur di sampingku. Ia juga bergerak sebentar lalu kembali tidur. Dengan lemas aku terduduk dan memandang sekitar. Biasanya aku bangun sebelum tartil menjelang shubuh diputar di pengeras suara. Namun setelah begadang sampai jam dua dan mengobrol tentang santri putra yang diam-diam disukai Hamida, membuatku masih sangat mengantuk.

“Mida … Hamida bangun woy. Nanti telat jama’ah.” gumamku lesu seraya menggoyang-goyangkan punggung Hamida. Hamida terbangun setelah lima menit, tepat saat aku berdiri dan mengambil mukena dari dalam lemari. Ia masih terpejam walau sudah terduduk dengan selimut masih membalut kakinya.

“Bangun … Bangun. Kalau telat ditakzir[1] nanti.” Kugoncangkan kakinya dengan kakiku, namun Hamida malah oleng dan kembali rebah. Aku menghela nafas dan mencoba menariknya untuk kembali duduk.

“Heh bangun!!! Ah bodo lah. Nanti kalau ditakzir baru tau.” kataku seraya meninggalkannya yang justru semakin menarik selimut. Kurasa pagi ini Hamida akan mengepel musholla jika tidak segera bangun.

Begitu air menyentuh kakiku di tempat wudhu, kantukku segera hilang diganti hawa dingin akibat kaki basah dan tiupan angin yang masuk dari sela-sela tangga yang tak beratap. Pesantrenku berupa gedung lantai tiga yang tertutup dan menempel pada kediaman Abah Yai dan Ibu Pengasuh. Tempatnya tak begitu luas. Hanya cukup menampung tak lebih dari dua ratus santri perempuan. Meski begitu rasa kekeluargaan antar santri terjalin cukup erat karena tinggal dan beraktifitas di satu atap. Tak ada perbedaan antara adik dan kakak kelas. Semuanya menyatu dan saling berbagi. Pertengkaran-pertengkaran kecil sudah pasti ada. Apalagi jika musim lomba di pertengahan tahun ajaran. Namun semua itu tak lebih dari rasa kompak antar kelas. Pertengkaran yang meluntur saat musim lomba telah selesai.

Walaupun hanya bisa menampung dua ratus santri – saat ini ada seratus enam puluhan santri – pesantren yang kutempati relatif besar dibanding pesantren-pesantren tetangga yang memungkinan hanya menampung puluhan anak. dan kami semua dikumpulkan di satu sekolah, menempa ilmu bersama.

Shubuh hari ini sama dengan shubuh-shubuh sebelumnya. Kami mengaji Al-Qur’an selepas sholat dan bersiap-siap mandi untuk berangkat ke sekolah. Beberapa anak yang mendapat tugas piket, mengantri mandi dengan meninggalkan peralatan mandinya dan menunggu antriannya sampai sembari mengerjakan piket. Tak hanya itu, santri-santri yang telat jama’ah juga langsung mendapat hukuman mengepel musholla sampai bersih sempurna. Dan benar saja, Hamida salah satu yang mendapat hukuman itu.

“Kamu kok nggak bangunin aku sih.” gerutunya saat mengambil air yang diwadahi ember untuk mengepel musholla.

“Enak aja. Udah aku bangunin tau. Kamunya balik molor lagi.”

“Nggak kerasa yooo. Masak sih udah kamu bangunin.”

“Yaelah makanya, kalau naksir orang tetep harus tidur. Jangan dibayangin terus sampai nggak bisa tidur. Sekalinya tidur udah mepet shubuh.” kataku yang cuma disambut kekehan Hamida. Di usia kami beberapa anak memang sudah mulai merasakan jatuh cinta. Anak-anak kelas Aliyah atau setara dengan SMA sepertiku juga mulai sering bekerja sama dengan santri putra baik tentang urusan dekorasi panggung acara-acara besar kepesantrenan, atau panitia acara kelulusan sekolah. Belum lagi membantu guru-guru dalam ujian-ujian santri kelas akhir, menata kelas dan membantu menyiapkan snack serta air minum untuk para tamu yang menjadi penguji tes.

Lihat selengkapnya