Aku tahu bahwa ada banyak hal yang tak beres di rumah. Ayah dan Ibu mencoba menutupinya. Namun di liburan pertengahan tahun, saat kuputuskan pulang meski Ayah mencoba membuatku tak pulang, aku terkejut. Meskipun kami tak punya rumah dan mengontrak di sana-sini, Ayah dan Ibu tak pernah bilang kami berakhir pindah ke rumah saudara untuk sementara waktu.
“Trus rumah kita sebelumnya?” tanyaku saat terduduk di ruang tamu rumah saudara yang kami tempati.
“Ya kalian terpaksa pindah. Entah sampai kapan.” sahut Tante ketus tampak sekali tidak senang dengan keberadaan kami yang menempati rumahnya. Ayah dan Ibu hanya bisa terdiam. Aku menunduk.
“Seberapa parah keadaannya?” tanyaku pelan pada Ayah dan Ibu.
“Tidak separah itu…”
“Tapi Tante tidak menyukai keberadaan kita, Yah.” potongku setengah berbisik. “Tidak mungkin tidak buruk.”
Ibu menghela nafas. “Kita terpaksa pindah karena orang-orang datang tiap hari menagih uang pendaftaran MLM sebelumnya.”
“Bukannya sudah dibayar Ayah menggunakan uang tabungan?”
“Tidak semua terbayarkan. Ayah dan Ibu mencoba bisnis lain. Beras. Tapi tidak berjalan lancar karena kekurangan modal. Mencari supplier murah membutuhkan akomodasi yang tidak murah, seperti mobil angkut dan minimal pembelian supaya balik modal. Ayah menawarkan investasi untuk bisnis ini ke teman-teman Ayah. Tapi salah seorang pemodal mengambil separuh lebih pedagang yang mengambil beras pada kita. Omzet kita menurun, namun biaya tanggungan tiap bulan untuk memberi keuntungan pada investor masih terus berjalan. Akhirnya uang Ayah habis.”
Aku cuma bisa memejamkan mata dan beristighfar dalam hati. Tak menyangka bahwa situasinya sekacau ini. Kulihat raut muka kedua orangtuaku yang sayu. Rasa lelah tergambar jelas di sana.
Tak ada yang bisa dilakukan, aku tahu itu. Apa yang kami lakukan hanya menunggu waktu untuk berhenti. Bisnis yang dijalankan Ayah sudah berada di ujung tepian di mana jurang menganga menyambut di bawahnya.
“Tidak ada yang mau bersihin ini? Kotor semua. Berantakan. Sudah untung lima-limanya ditampung. Bayar bulanan juga sekenanya.” gerutu Tante melihat bak cuci piring yang sebenarnya berisi dua piring dan sendok yang adik-adikku gunakan makan baru saja. Aku langsung bangkit dan mencucinya. Tak usah dijelaskan, keberadaan kami sangat tidak diinginkan Tante Rifa, kakak perempuan Ibu. Aku mencoba mengerti bahwa menampung lima orang di rumahnya pasti membuatnya tidak nyaman. Belum dengan Om yang memandang rendah kami sepulangnya dari kerja. Parasit. Kata yang pernah kudengar di tengah gerutuan mereka.
Di situasi yang berantakan ini, aku melewatkan jadwal kembali ke pesantren. Malamnya, detik-detik ponsel para santri di kumpulkan hingga liburan berikutnya, setumpuk SMS memberondongiku yang tak juga kembali ke pondok. Dengan hati muram, kuabaikan semua pesan itu dan kembali menata beras-beras yang sudah dikemas ulang. Ayah dan Ibu melupakan hari kepulanganku ke pesantren dan aku tak bisa menyalahkannya. Seharian menerima telepon dari investor yang mengalami macet pembayaran ditambah mendengar keluhan-keluhan Tante yang semakin tak masuk akal seperti menuduh adik-adikku mencuri sesuatu dari kamarnya.
“Ayah, apa kita tidak bisa pindah ke kontrakan lain? Kecil pun tidak apa-apa.” tanyaku setelah mencoba membela Bunga dan Matahari dari tuduhan Tante Rifa. Ibu pun meyakinkan kakaknya bahwa kami tidak pernah sekalipun mencoba mencuri apapun. Aku hampir tak percaya. Kami keluarga. Tapi Tante Rifa bisa setega itu. Aku tahu Ibu menahan tangisnya. Ia mungkin sama tak tahunya sepertiku jika kakaknya tega menghinanya.
“Pagi tadi, Ayah dapat rumah baru yang jauh lebih murah. Sangat layak ditempati, tapi…”
“Tapi?” tanyaku.
“Tempatnya lumayan jauh. Apa tidak apa-apa?” aku langsung mengangguk. Kulihat Ibu juga terdiam. Masih terpukul dengan perlakuan Tante Rifa.
“Tidak apa-apa. jauh tidak apa-apa.” kataku. Jauh lebih baik daripada tinggal di sini.