Ian menatapku cukup lama. Mungkin ia mencoba menebak, apakah yang baru saja kukatakan itu serius atau hanya candaan. Kubalas tatapannya dengan senyum kecil yang menyimpan banyak arti. Aku tahu, itu semua mengejutkannya.
“Kita lurusin lagi, oke? Kamu serius ingin hubungan kita lanjut dengan tiga syarat. Yang pertama kamu ingin aku berhenti merokok?”
“Ya.” kataku pelan.
“Tidak bisakah kalau aku cukup tidak merokok di depan kamu? Jika kamu tidak suka dengan orang merokok.”
“Itu tidak untuk aku saja. Aku yakin hal itu juga bagus untuk kesehatan keluarga kita … jika kamu mau lanjut berkeluarga denganku pastinya.” tambahku cepat-cepat.
“Yang kedua …” sambung Ian, “… Setelah menikah kamu ingin kita langsung hidup mandiri dan tidak tinggal di rumah orangtuaku.”
“Orangtua kita.” ralatku. “Meski mengontrak tak apa. Aku tidak bisa tinggal bersama dengan orangtuaku ataupun orangtuamu. Kurasa itu juga bagus untuk membangun keluarga kecil kita sendiri. Kita juga bisa lebih cepat dewasa dalam mengatasi masalah-masalah rumah tangga. Walaupun kuyakin orangtua kita bukan orangtua yang suka ikut campur sekalipun.”
“Dan yang ketiga … kamu tidak ingin memiliki anak?” Ian bertanya. Lebih seperti menuntut jawaban. “Kamu serius ingin menikah dengan syarat seperti ini?”
Aku menghela nafas, tahu bahwa syarat-syarat yang kuajukan terdengar mengada-ada. Lebih ke egois sepertinya. Ian yang besar di pedesaan, dibesarkan oleh orangtua dengan cara pikir tradisional, belum lagi angka pernikahan di desa kami termasuk muda, Sembilan belas hingga dua puluh tiga tahun. Orang-orang seusia kami sudah layak menggendong dua anak balita. Syarat yang kukatakan padanya lebih terdengar seperti penolakan ketimbang kompromi.
“Terdengar aneh, aku tahu. Tapi aku berusaha mengatakannya untuk memberi kamu lebih banyak pertimbangan. Dan kurasa kamu harus tahu pernikahan seperti apa yang ingin kujalani. Apakah kamu sanggup atau tidak.”
“Pernikahan di mana kamu tidak ingin repot mengurus anak…”
“Bukan itu maksudku.” Aku menyahut dengan mata terpejam, “Aku ingin mengatakan alasannya tapi sepertinya hanya terdengar seperti alasan untukmu, bukan?” kataku begitu melihat Ian sudah tak tampak tertarik. Ia duduk menyandar dengan pandangan ke arah lain.
“Aku cuma nggak ngerti dengan jalan pikiranmu.” ucapnya setelah beberapa lama kami terdiam.