Magnolia

Fitri F. Layla
Chapter #11

Bab 11 (Yang Pergi Meninggalkan Kami)

Semuanya seolah kembali berjalan normal. Hari-hari ramai yang diisi kedua adikku, Ayah yang bolak-balik ke luar kota untuk mengantar beras-beras ke pelanggan sembari mencari pasar baru di dekat rumah kami, Ibu yang istirahat penuh karena kehamilannya, semuanya tampak berada di tempatnya semula. Kekhawatiranku perlahan-lahan memudar. Kecuali satu. Sesegera mungkin aku harus kembali ke pesantren. Aku sudah tak mengkhawatirkan hukuman sama sekali. Apapun yang harus kuterima, maka akan kuterima. Meski mendapat skors dan tidak naik kelas sekalipun.

“Cuciannya sebanyak itu?” tanya Ibu tiba-tiba muncul dari dalam. Aku yang tengah menjemur pakaian langsung berbalik dan terkejut.

“Kok Ibu bangun? Kan harus istirahat penuh. Bahkan Ibu belum boleh jalan terlalu banyak.”

“Kamu itu ngomong apa? jalan dari kamar Ibu kesini emangnya sejauh itu?” aku tidak bisa mengomel lagi. Karena memang sepertinya aku yang berlebihan.

“Lia, kamu nggak kepikiran pulang ke pondok?” tanya Ibu yang kemudian duduk di bangku plastik dekat pintu.

“Kepikiran, Bu.” jawabku jujur meski lagakku seperti tak peduli.

“Kalau minggu depan gimana? Nanti biar Ibu bilang Ayah dan diusahain biar kamu secepetnya pulang pondok.” Kata Ibu yang kusambut dengan senyuman dan anggukan. “Sini biar Ibu bantu.”

“Ibu ngapain?” seruku saat Ibu mengangkat salah satu ember kosong.

“Nggak apa-apa. kan nggak berat.”

“Ya tapi hati-hati, Bu.” kataku

“Iya. Ibu bakal hati-hati.” Kuamati Ibu yang menenteng ember kosong itu dan menaruhnya di kamar mandi. Ia tersenyum lebar saat apa yang ia lakukan tak menimbulkan apa-apa. aku tahu Ibu sedang bosan setengah mati karena dilarang melakukan banyak hal. Boro-boro berkegiatan, berdiri sedikit lebih lama saja tidak diperbolehkan. Kandungan Ibu kali ini sangat lemah. Mungkin karena faktor usia dan tingkat stress yang sedang Ibu alami. Hamil keempat di usia empat puluhan tentu bukan waktu yang ideal. Namun karena kebiasaan, pasti sulit juga untuk tetap berdiam diri di atas kasur sampai kondisi kandungannya bisa lebih kuat beberapa bulan ke depan.

Malamnya kudengar Ibu membicarakan kepulanganku ke pondok pada Ayah. Ayah nampak setuju. Tak ada alasan lagi untuk menundanya. Bahkan sempat kurasakan adanya perasaan bersalah saat tahu aku harus menghadapi segudang aturan pondok yang kulanggar karena kembali sangat terlambat. Kuyakinkan keduanya bahwa aku tak mempermasalahkannya. Setidaknya, jika pun aku khawatir, sudah seharusnya tak kuperlihatkan di depan mereka dan menambah beban pikiran Ayah dan Ibu.

Lihat selengkapnya