Magnus Chase and the Gods of Asgard

Noura Publishing
Chapter #2

Kejar-Kejaran di Atas Atap dengan Pedang yang Bisa Bicara dan Ninja

Aku harus memperkenalkan pedangku.

Jack, perkenalkan, mereka ini para pembaca. Para pembaca, perkenalkan, ini Jack.

Nama aslinya Sumarbrander, Pedang Musim Panas, tapi Jack lebih suka dipanggil Jack karena lebih suka saja. Ketika Jack sedang ingin tidur, yaitu praktis sepanjang waktu, dia menggelayuti kalung di leherku, dalam bentuk bandul bertanda fehu, yang adalah rune perlambang Frey:

***

Ketika aku membutuhkan bantuannya, dia berubah menjadi pedang dan menghabisi macam-macam. Terkadang dia melakukan itu sewaktu aku menyandangnya. Kali lain, dia melakukan itu sambil beterbangan sendiri ke sana-kemari dan menyanyikan lagu-lagu pop menyebalkan. Dia memang ajaib.

Selagi aku menyeberangi Newbury Street, Jack membesar menjadi pedang di tanganku. Bilahnya—baja tulang bermata ganda sepanjang tiga perempat meter—bertatahkan huruf-huruf rune yang berdenyut dengan warna lain-lain selagi Jack bicara.

“Ada apa?” tanyanya. “Kita hendak menghabisi siapa?”

Jack mengklaim tidak memperhatikan percakapanku ke­tika sedang mewujud sebagai bandul. Kata Jack, dia biasanya mengenakan headphone. Aku tidak percaya, sebab Jack tidak punya headphone. Juga tidak punya telinga ataupun kepala.

“Mengejar pembunuh,” celetukku sambil menghindari taksi. “Ada kambing mati dibunuh.”

“Oh, begitu,” kata Jack. “Berarti sama seperti biasa.”

Aku melompat ke sisi gedung Pearson Publishing. Sudah dua bulan aku belajar menggunakan kekuatan einherji-ku, maka satu lompatan langsung mengantarku ke birai yang terletak tiga lantai di atas jalan masuk utama—tidak susah, sekalipun satu tanganku memegang pedang. Kemudian aku setengah meloncat-setengah memanjat dari birai jendela ke lis marmer putih, mencurahkan tenaga ototku bagaikan Hulk sampai aku tiba di puncak.

Di sisi jauh atap, sosok gelap yang berjalan dengan dua kaki baru saja menghilang di balik sederet cerobong asap. Si pembunuh kambing berpenampilan humanoid, alhasil menghapus kemungkinan pembunuhan sesama kambing. Namun sudah cukup yang kulihat di Sembilan Dunia sehingga mengetahui bahwa humanoid belum tentu manusia. Dia mungkin saja peri, kurcaci, raksasa kecil, atau bahkan dewa pembunuh berkapak. (Tapi mudah-mudahan saja bukan dewa pembunuh berkapak.)

Sesampainya aku di antara cerobong-cerobong, buruanku sudah melompat ke bangunan sebelah. Barangkali kedengarannya tidak mengesankan, tapi bangunan sebelah adalah griya batu paras cokelat di seberang lapangan parkir kecil selebar lima belas meter. Si pembunuh kambing bahkan tidak patah pergelangan kaki sewaktu mendarat. Dia bersalto saja di aspal dan melanjutkan berlari. Kemudian dia melompat kembali ke seberang Newbury Street dan mendarat di menara Church of the Covenant.

“Aku benci cowok itu,” kataku.

“Dari mana kau tahu dia cowok?” tanya Jack.

Pedang itu ada benarnya. Karena berpakaian hitam longgar dan berhelm tempur, mustahil untuk menebak gender si pembunuh kambing, tapi kuputuskan untuk menganggapnya sebagai laki-laki pada saat ini. Entah kenapa. Barangkali karena laki-laki pembunuh kambing kedengarannya lebih menyebalkan.

Aku mundur, ambil ancang-ancang sambil berlari, dan kemudian melompat ke arah gereja.

Aku ingin memberi tahu kalian bahwa aku mendarat di menara dengan mulus, langsung memborgol si pembunuh, dan mengumumkan, Kau ditahan karena membunuh hewan ternak!

Tapi nyatanya ... nah, Church of the Covenant memiliki jendela kaca berwarna nan indah yang dibuat perusahaan perhiasan Tiffany pada 1890-an. Di bagian kiri gereja, salah satu jendela retak besar di atas. Akulah biang keroknya.

Aku menabrak atap miring gereja dan, selagi meluncur ke bawah, menyambar cucuran dengan tangan kananku. Rasa nyeri menusuk menjalari kuku-kukuku. Aku menggelayut dari tepi dengan kaki terayun-ayun, hingga menendang jendela kaca berwarna nan indah tepat di depan Bayi Yesus.

Sisi positifnya, menggelantung di atap justru menyelamatkan nyawaku. Tepat saat aku menggeliut, sebilah kapak mendesing dari atas dan mengiris kancing-kancing dari jaket denimku. Satu sentimeter lebih dekat saja, dadaku niscaya terbelek.

“Hei!” teriakku.

Aku kerap mengeluh ketika orang-orang mencoba membunuh­ku. Betul bahwa di Valhalla, kami kaum einherjar senantiasa saling bunuh dan kami lantas dibangkitkan kembali sehingga masih sempat ikut makan malam. Tapi di luar Valhalla, aku masih bisa dibunuh. Jika aku meninggal di Boston, aku tak akan mendapat kesempatan hidup kedua dari kosmos.

Si pembunuh kambing memandangiku dari atas atap sambil memicingkan mata. Puji syukur kepada dewa-dewi, dia sepertinya sudah kehabisan kapak lempar. Sialnya, sebilah pedang masih tersandang di pinggang si pembunuh kambing. Celana panjang ketat dan tuniknya terbuat dari bulu hitam. Baju rantai berlumur jelaga terpasang longgar di dadanya. Helm besi hitamnya tersambung dengan tabir dari jejalin rantai—yang disebut aventail oleh bangsa Viking—yang melindungi leher sepenuhnya. Rupanya disembunyikan oleh kedok berbentuk serigala yang menggeram.

Tentu saja serigala. Semua orang di Sembilan Dunia menggandrungi serigala. Mereka punya perisai serigala, helm serigala, screensaver serigala, piama serigala, dan pesta ulang tahun bertema serigala.

Lihat selengkapnya