Magnus Chase and the Gods of Asgard

Noura Publishing
Chapter #3

Teman-Temanku Tidak Memberitahuku Apa-Apa Konon Demi Melindungiku. Terima Kasih, Teman-Teman

Sekembalinya aku ke kafe, Sam sedang berdiri membayangi jasad Otis.

Para pelanggan berjalan masuk-keluar Thinking Cup sembari menjauhi si kambing mati. Mereka tidak tampak waswas. Mungkin mereka melihat Otis sebagai gelandangan semaput. Sejumlah sahabatku gelandangan semaput. Aku tahu persis bahwa mereka lihai menghalau khalayak ramai.

Sam memandangku sambil mengerutkan kening. Di bawah mata kirinya, tampaklah memar jingga baru. “Kenapa informan kita mati?”

“Ceritanya panjang,” kataku. “Siapa yang menghajarmu?”

“Ceritanya panjang juga.”

“Sam—”

Dia melambaikan tangan untuk menepis kecemasanku. “Aku baik-baik saja. Tolong jangan katakan kau membunuh Otis karena dia memakan scone-ku.”

“Bukan itu. Tapi, kalau dia memakan sconeku—”

“Ha, ha, ha. Apa yang terjadi?”

Aku masih khawatir akan mata Sam, tapi aku berusaha sebaik-baiknya untuk menjelaskan si pembunuh kambing. Sementara itu, sosok Otis mulai meluruh, terbuyarkan menjadi kepulan uap putih seperti es kering. Tidak lama kemudian, tiada yang tersisa selain mantel panjang, kacamata, topi, dan kapak yang menewaskannya.

Sam memungut senjata pembunuh. Bilahnya kira-kira cuma sebesar ponsel pintar, tapi tepinya tampak tajam. Pada permukaan logam gelap tersebut, tertatahlah rune-rune sehitam jelaga.

“Besi tempaan raksasa,” kata Sam. “Dimantrai. Bobotnya seimbang. Senjata ini amat berharga, tapi kenapa ditinggalkan begitu saja?”

“Baguslah. Aku pasti sakit hati kalau Otis dibunuh dengan senjata butut.”

Sam mengabaikanku. Dia makin lihai saja mengabaikanku. “Katamu si pembunuh mengenakan helm serigala?”

“Dengan kata lain, mengurangi jumlah tersangka hingga tinggal setengah populasi penjahat di Sembilan Dunia.” Kutunjuk mantel kosong Otis. “Raganya menghilang ke mana?”

“Otis? Dia akan baik-baik saja. Makhluk-makhluk magis terbentuk dari kabut Ginnungagap. Sewaktu mati, raga mereka melebur kembali ke kabut tersebut. Otis akan mewujud kembali di dekat majikannya, semoga saja sebelum makan malam supaya Thor masih sempat menjagalnya lagi untuk dimakan.”

Harapan itu terkesan ganjil bagiku, tapi tidak lebih ganjil ketimbang pagi yang baru saja kulalui. Sebelum lututku keburu ambruk, aku duduk. Kusesap kopiku yang sekarang dingin.

“Si pembunuh kambing tahu bahwa palu itu hilang,” kataku. “Katanya kalau kita pergi ke Provincetown, kita bakal masuk ke perangkap musuh. Menurutmu, mungkinkah musuh yang dia maksud itu—”

“Loki?” Sam duduk di seberangku. Dilemparkannya kapak ke atas meja. “Aku yakin dia terlibat. Dia selalu terlibat.”

Aku tidak bisa menyalahkan Sam atas kegetirannya. Sam tidak suka membicarakan Dewa Kebohongan dan Tipu Daya. Selain jahat, Loki kebetulan adalah ayahnya.

“Kau mendengar kabar darinya baru-baru ini?” tanyaku.

“Cuma kedatangan mimpi.” Sam memutar-mutar cangkir kopi seperti kenop brangkas. “Bisik-bisik, peringatan. Dia terutama tertarik akan .... Sudahlah. Bukan apa-apa.”

“Bukan apa-apa bagaimana? Kedengarannya tidak seperti itu.”

Tatapan Sam tajam dan menyala-nyala, bagaikan kayu bakar yang membara di dalam perapian tepat sebelum berkobar. “Ayahku berusaha memorakporandakan kehidupan pribadiku,” katanya. “Bukan kejadian baru. Dia ingin agar perhatianku teralihkan. Nenek-kakekku, Amir ....” Suaranya tercekat. “Tapi, aku bisa menghadapinya. Masalah pribadiku tidak tersangkut paut dengan persoalan palu.”

“Kau yakin?”

Ekspresi Samirah menyiratkan supaya aku tidak ikut campur. Di masa lalu, ketika aku kelewat mendesaknya, Sam pernah memitingku ke dinding dan mencekik leherku dengan lengannya. Bahwa dia belum mencekikku hingga tak sadarkan diri menandakan betapa persahabatan kami telah kian dalam.

Lihat selengkapnya