Wanita dengan perut besar memandang tajam ke arah pohon trembesi yang dikelilingi tiga bapak-bapak setengah tua. Bapak-bapak itu membawa kapak dan berang. Adalah Pak Ba'i dengan berang terbesar daripada teman-temannya. Genggaman tangannya siap mengayunkan benda berbahaya itu dengan penuh dendam. Dendam karena pohon itulah istrinya mengomel setiap harinya. Kemudian, setiap hari pula Pak Bai'i melewatkan kopi dan rokok bersama teman-temannya karena ia harus mengoles minyak ke punggung istrinya yang katanya pegal membersihkan daun pohon trembesi yang mengotori depan rumahnya. Dia tak ingat kalau dia adalah buruh cuci yang pekerjaannya lebih berat dibandingkan sekedar menyapu halaman. Baju kotor tiga gunung anak-an siap ia cuci jika rupiah ada di ujung cucian tersebut. Jadi hanya karena menyapu tak berbayar lalu istri Pak Ba'i mengeluh.
Wanita yang sedari tadi melihat pekerjaan bapak-bapak itu sedikit mengernyitkan dahinya. Matanya mengisyaratkan sesuatu yang aneh. Sambil mengelupas kulit kecambah ia terus memandang ujung salah satu ranting pohon.
"Genderuwo", ia berbisik lirih.
"Amit-amit jabang bayi!" Sambil mengelus perutnya yang berisi calon anak keduanya.
Wanita itu tetap pada pekerjaannya walaupun otaknya berputar dan mengira apa yang akan terjadi nanti malam. Ia sangat peka terhadap hal-hal gaib seperti ini. Namun, ia memilih diam dan tak mengindahkannya. Ia tak begitu suka menggelutinya. Hanya peka.
Tiga bapak yang dari tadi mematahkan ranting-ranting, mulai dari ranting kecil sampai pada batang yang ada di pangkal pohon, sekarang terengah-engah tapi terlihat bangga. Mereka begitu bangga bisa mengalahkan pohon kebesaran.
Pak Ba'i memandang Atik, wanita seribu kecambah dengan pandangan pamer.
"Selesai juga, Tik." Sambil memberi isyarat kepada keponakannya untuk mengambilkan segelas air.
"Alhamdulillah, Pak Lek!" Atik membalas seolah tak akan terjadi apa-apa. Padahal jelas ia melihat sesosok hitam sedang memerah pekat memandangi sekitar seperti menandai siapa saja yang mengganggu tempat tinggalnya.
***
Lima orang terdiam bersingkuran di pos kamling dekat rumah Atik sekitar pukul 01.00 malam. Wajah mereka terekam pucat pasi. Detak jantung mereka terdengar satu sama lain. Sudah jelas mereka mengalami hal yang sama dan sangat mengerikan.
"Piye, Jok?" Agus penasaran dengan kabar temannya yang tadi bersama-sama menebang pohon terkutuk.
Joko menjawab dengan mata berkaca-kaca dan masih terengah-engah. Sementara Pak Ba'i dan Ningsih, istrinya, lebih memilih untuk diam dan membaca doa sebisanya. Adalah Sri yang sangat aneh kelakuannya. Jongkok, berdiri memeluk tiang, komat kamit tak jelas, tertawa ngeri, menggaruk kepala Agus, tidur tengkurap, menggigit jari Agus, berlari ke jalan, kembali lagi sambil menengadahkan tangannya tinggi-tinggi, lalu menangis. Sepertinya Agus lebih ngeri melihat istrinya, daripada genderuwo yang memporak-porandakan rumahnya.
"Sri, lungguh!" Agus memintanya duduk.
"Genderuwo, Mas! Genderuwo!" Sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Iya, ngerti. Lungguha! Genderuwone malah rene ngkok, ndelok awakmu kesurupan," jelas Agus menakuti.
Tak disangka, Sri malah rol depan lalu berteriak, "Gusti.......!"
Level kengerian meningkat tajam berbanding lurus dengan tingkah tingkah aneh Sri.
Di tempat lain suasana sepi dan senyap melanda rumah Atik. Ia sengaja terjaga karena firasat tadi pagi ketika ia berjibabku dengan para kecambah. Ia tahu dengan pasti makhluk itu akan mengganggunya malam ini. Dengan terus melantunkan tiga surat terakhir dalam Al-Quran pergelangan tangan perempuan berusia 27 tahun itu dengan cekatan memindahkan benang dari lubang satu ke lubang lainnya. Merajut adalah pilihan yang tepat agar rasa kantuk tak menghampirinya. Setelah 30 menit berlalu ternyata tangan dan mulutnya kalah oleh rasa kantuk di ujung mata. Air mata keluar menahan mulut yang tak kuasa menutup ketika ia mengeluarkan udara berbau kasur. Perempuan itu sempat memejamkan mata sebentar tetapi terdengar suara keras seperti kaki yang dihentak-hentakkan di atap rumah. Seketika Atik terjaga lagi. Ia tahu makhluk yang ditunggu-tunggu telah datang.
"Muduno!" Tegas Atik menyambut dan meminta tamunya turun. Makhluk itu semakin bersemangat mendengar tantangan dari musuhnnya.
"Braaaak!" Terdengar suara pintu tertutup keras. Atik tersentak sebentar. Namun, tetap dengan An-Nas di mulutnya ia membuka mata lebar-lebar dan memandang berani ke arah sumber suara.
Makhluk hitam itu tak gentar menatap Atik. Sama sepertinya, Atik pun tak tak bergetar sedikitpun.
"Reneo!" Atik menyuruhnya mendekat. Tapi, genderuwo itu hanya menggetarkan lemari yang ada di dekat perempuan yang sedang memegang dada seorang anak berusia 13 bulan di sampingnya. Anak itu meringik mendengar getaran benda yang tepat ada di sampingnya. Dengan sigap ibunya melantunkan sholawat lirih di telinga anaknya. Seketika Bagas kecil terdiam meneruskan mimpinya.
"Nek awakmu gak gelem Rene, ngaliho kono lo!" Usir Atik kesal.
Genderuwo itu malah tertawa tak bersuara. Ia getarkan lagi lemari yang baru saja terdiam. Kali ini lebih keras.
Seketika Bagas menangis keras. Atik semakin kesal. Ia kebingungan menggendongnya. Perut perempuan berambut panjang itu sudah terlalu besar, sudah sembilan bulan lebih. Kekesalan itu tidak hanya ditujuan untuk tamunya, tapi juga bapaknya Bagas yang sudah tiga hari tak pulang hanya karena bosan.