MAHAGURU

Reda Rendha Deviasri
Chapter #2

Hantu Indekost

Ini pasti ulah Mak Sri.

Katanya, "Udah, di sana aman, Da! Semua disediakan."

"Tapi, aku belum ...." Belum sempat kusanggah perkataannya, dengan percaya diri beliau memantabkan lagi, "Ngapain bawa banyak barang? Pak Ba'i pernah ke sana ndak bawa apa-apa, pulang aman, kok. Ndak masuk angin juga. Udah dikeluarin itu barang-barang yang ndak perlu."

"Tapi kan ...." Tanpa basa-basi ibu mengeluarkan seprei dan selimut, kemudian menggantinya dengan setoples oseng tempe kering, dua kilo beras, dan sekantong plastik bumbu-bumbu dapur. Entah mengapa kali ini beliau kompak sekali dengan Mak Sri.

"Tik, ojo lali lengo klenthike!" Ibuku menepuk dahinya, kemudian berlari ke dapur mengambil minyak goreng dengan wadah sebotol teh pucuk besar.

Jadi, pahamkan? Mengapa sekarang aku di sini tertelungkup kaku, menggigil tak karuan di atas tempat tidur tak berseprei? Hanya jaket merah yang menutupi ujung kakiku. Benda parasut itu tak mampu menghangatkan tanganku yang kusilangkan melengkung diantara dada dan perut.

Malang. Ya, sekarang aku di kota Malang. Tepatnya pukul tiga pagi di Bulan Agustus. Bulan di mana mahasiswa-mahasiswa baru sedang dikutuk untuk merasakan dingin sampai menusuk ke dalam tulang.

Ibu sebenarnya tak tau pasti keadaan di sini. Yang beliau tahu hanyalah, aku akan kelaparan selama beberapa tahun, maka makananlah prioritas utamanya. Tak ada uang cukup yang aku bawa. Hanya empat puluh ribu. Tetapi bekal lain yang ibu berikan selama dua puluh tahun sudah lebih dari cukup untuk bertahan diperantauan.

Meskipun setiap hari terbiasa bangun pukul tiga pagi dan beraktifitas, tapi kali ini, aku sungguh tak sanggup melawannya. Aku sudah tak nyenyak tidur kemarin malam. Apanya? Katanya sudah di sediakan semuanya? Aku tetap menyalahkan Mak Sri, meskipun aku tahu itu tidak akan terjadi. Pak Ba'i orang penting. Pasti beliau tidur di hotel. Lha siapa saya? Biaya sewa kost saja belum terbayar. Hahaha. Mak Sri, Mak Sri.

Ku paksakan diri, kulempar jaket merah kesayangan. Tak peduli bahwa dia telah menghangatkan bagian tubuh paling kuatku. Aku harus bisa berdikari di hari pertamaku. Dengan kaki gemetar dan bunyi suara gigi yang beradu, tanganku merogoh isi tas yang penuh dengan bahan makanan. Kudapati selembar handuk kusam berwarn hijau. Handuk kesayangan di samping jaket merah tadi. Handuk penuh kehangatan dari seorang wanita penjual nasi pecel yang tak gentar menghadapi apapun.

Di dalam kamar tidur tidak ada kamar mandi seperti yang di ceritakan Mak Sri. Bangunan itu terletak di sebelah kiri jarak tiga ruang dari kamarku. Kulangkahkan kaki kiri sedikit ragu memasuki ruang sempit hitam di samping tangga. Tangan kanan meraba-raba dinding basah berharap menemukan saklar hingga terang jalanku menuju embermu. Benar saja, dalam sekejap kutemukan benda sakral itu.

Klik.

Tetap gelap.

Lihat selengkapnya