Jangan dikira mudah. Ibuku, melepasku, berpikir sangat keras. Apa yang beliau punya, menjadi target kegiatan ekonomi nomor satu. Jual beli. Oh, maaf, tanpa beli, hanya jual. Ayam, lemari, tempat tidur, panci semua amblas.
Berdiri merenung, di antara gerbong kereta ekonomi, kunikmati goyangan besi-besi ini. Cepat dan berisik. Suasana yang pas untuk harga 6.000 per orang selama empat jam lebih. Kemarin sore, ayam terakhir yang ditangkap mas Bagas, sebelum berangkat mengadu nasib, masih jelas kokokannya di telinga. Di sela-sela deru kereta, ayam itu tak kalah berisik.
"Kok kok kok pethok! Kok pethok!" ia meronta-ronta ketika dinastinya dilibas habis oleh manusia-manusia bengis bermulut manis. Perbudakan ayam dimulai sore itu.
"Sabar ya thik pithik, awakmu ngenes nek Melu aku. Melu juragan anyar sing luwih sugeh, ya?" Bujuk rayu Nyonya Atik pemilik pithik terakhir. Padahal, orang kaya yang dimaksud, membeli ayam itu hanya untuk di santap guna penyedap soto ayam hajatan. Manis bukan mulut manusia? Hahaha...
'Owalah thik!' aku menghela nafas. Ayam itu satu-satunya sumber protein keluargaku. Ia dipompa habis-habisan untuk menghasilkan telur yang bisa membuat kami tumbuh sehat dan bahagia. Sekarang, yang bisa dimakan ibu mungkin hanya sayur gambas dan bayam di samping rumah.
Tak hanya ayam, lemari, tempat tidur, panci-panci, semua dijual Ibuku untuk modal kami naik kereta dhoho ini. Semuanya dikorbankan, entah setelah ini ibu tidur beralaskan apa? Entah nanti beliau memasak menggunakan apa? Entah ...
Kereta ini hanya 6.000, untuk kami berdua, berarti ya tinggal dikalikan dua. Dua belas ribu. Tapi, setelah ini? Biaya indekost, makan sehari-hari, fotocopy materi kuliah? Bagaimana ya? Cukup kah hasil jual menjual itu sampai empat tahun nanti? Hmmm..