Ada yang pernah menyesal seumur hidup dan rasanya tetap berasa kuat sampai sekarang? Tapi itu bukan karena hal besar yang menggagalkan seluruh kehidupanmu. Hmmm... Yang ringan-ringan saja. Seperti menyesal karena menjadwalkan foto KTP setelah perjalan jauh? Jangan dibayangkan perjalanan yang nyaman. Naik mobil ber-AC atau naik bus eksekutif dengan mode setengah rebahan. Tapi bayangkan, kita melakukan perjalanan jauh sekitar satu jam di area berangin dengan sebuah motor beserta helm retak berbunyi 'klothak-klothak'. Kemudian sampai di TKP kita langsung ditangkap dan digiring keruang kecil dengan kamera yang entah tersembunyi dimana, tanpa aba-aba, langsung 'klik' jadilah KTP seumur hidup. Nah, sehingga setiap melihat KTP, hati seakan berdesir tak karuan. Seperti itu?
Jika ada, kita sama. Dan itu tidak terjadi sekali, berkali-kali. Kali ini bukan ulah siapa-siapa. Memang aku ditakdirkan untuk adu cepat dengan benda itu. Bus harapan jaya jurusan Surabaya-Kediri. Benda sialan ini yang membuat hatiku berdesir sampai sekarang.
Kalau bisa ku gambar, ku gambarkan keadaannya untuk kalian. Jadi, di sebuah perempatan, aku selalu berlomba dengan kendaraan kotak besar itu. Di suasana pagi yang kuharap tenang, cita-citaku hanya berjalan santai bersama seragam putih abu-abu kebanggaan. Setelah huru hara pagi yang tak pernah santai dengan rutinitas mengantar kue ke sekolah-sekolah dan pedagang-pedagang sayur, sebagai manusia normal, aku ingin santai menenteng tas biruku ke halte tempat pemuda pemudi menggantungkan masa depannya. Mereka santai duduk menunggu bus tak berperasaan itu. Aku berani memberi cap tak berperasaan, karena memang seperti itu keadaannya. Hampir setiap hari, aku terlambat hanya 1 menit. Bahkan tak sampai. Aku beradu nasib dengan kendaraan super cepat itu. Kita sama-sama berada di sisi yang sama, di perempatan, di seberang halte. Tapi tidak mungkin bus itu membukakan pintu untukku karena pintunya terbuka hanya ketika sampai di halte. Alhasil, kita sama-sama menyeberang, tapi "wus" kendaraan itu melaju cepat sedangkan aku masih harus waspada dengan kendaraan lain di kanan dan kiri perempatan, nyawaku lebih penting kan? Perlombaan yang jauh dari kata seimbang.
Teriakan mulai dari yang terkencang hingga termanis hanya di balas senyum manis dari abang kernet. Tatapannya mengisyaratkan, tunggu bus selanjutnya, sambil mengangkat salah satu alisnya. Hal ini berarti aku harus nunggu 10-15 menit lagi, padahal bapak kesiswaan dengan tatapan sinisnya sudah menunggu di belakang pintu gerbang. Hanya kurang satu menit. Itulah penyesalan satu menit yang pernah ku alami. Andai bus itu terlambat satu menit. Andai aku mempercepat jalanku satu menit, andai-andai yang lain. Karena satu menit muncullah 15 menit kemudian.