Aku lahir di desa yang tak pernah punya nama di peta. Sebuah tempat di mana waktu terasa enggan bergerak, dan hidup adalah rangkaian kewajiban yang diwariskan turun-temurun. Di sini, tanah lebih sering retak daripada subur, dan angin yang berhembus membawa debu serta mimpi-mimpi yang terlalu lelah untuk dikejar.
Namaku Awan. Aku tumbuh seperti ilalang yang terpaksa kuat di tanah yang keras. Mereka bilang aku harus puas dengan hidup yang sederhana: membajak ladang, menikahi perempuan pilihan keluarga, lalu mati tanpa pernah meninggalkan jejak. Tapi hatiku menolak tunduk pada takdir yang ditetapkan tanpa suara.
Di tengah keterbatasan, aku memandang langit luas yang selalu bebas, tak terikat akar atau batas. Mungkin itu sebabnya aku diberi nama Awan—sesuatu yang terus bergerak, meski tak pernah punya tempat untuk pulang.
---
Hari-hari berlalu seperti aliran sungai yang malas bergerak. Pagi datang dengan embun tipis yang segera lenyap ditelan matahari. Ayah dan para petani lain memikul cangkul dengan langkah berat, sementara ibu sibuk menenun kain lusuh untuk dijual di pasar desa yang sepi pembeli.
Aku sering membantu di ladang, mencangkul tanah yang keras seperti batu. Tapi pikiranku selalu melayang jauh. Setiap hantaman cangkul terasa seperti perlawanan kecil terhadap dunia yang memenjarakan kami dalam siklus yang tiada akhir.
“Jangan memikirkan hidup terlalu dalam, Awan,” kata Pak Hasan, tetua desa yang suka bercerita di bawah pohon beringin tua. “Tuhan sudah menuliskan jalan kita. Terima saja.”
Tapi aku selalu bertanya dalam hati: jika hidup sudah ditentukan, untuk apa aku ada? Jika takdir telah digariskan, mengapa aku diberi hati yang terus meronta ingin bebas?
Suatu sore, saat angin membawa aroma hujan yang enggan turun, aku duduk di atas batu besar di tepi sungai kecil di ujung desa. Di sanalah pertama kali aku melihat Ariyanti.
Dia berdiri dengan tenang di dekat air, wajahnya memantulkan cahaya senja yang hangat. Rambut hitam panjangnya tergerai ditiup angin, sementara matanya yang dalam memandang jauh ke arah aliran sungai, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat.
Aku tidak pernah melihat seseorang memandang dunia seperti itu—penuh harapan tapi juga kesedihan yang sulit dijelaskan.
Aku hampir melangkah mendekat ketika ia tiba-tiba menoleh dan melihatku. Matanya bertemu mataku. Bukan tatapan canggung orang asing, tapi seperti seseorang yang telah lama mengenal dan menungguku datang.
“Air sungai ini selalu mengalir ke tempat yang lebih jauh,” katanya tanpa basa-basi, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Kamu pernah ingin mengikutinya?”