MAHAJANA (sebuah novel filsafat)

Lutva Nanda Bayu Setyawan
Chapter #2

Keinginan Yang Tak Terucap


Ada yang berubah sejak percakapan terakhirku dengan Ariyanti di tepi sungai itu. Bukan dunia di sekitarku—desa ini masih sama. Langit tetap kosong, ladang tetap tandus, dan hari-hari tetap berjalan dengan ritme yang membosankan. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang tak lagi sama. Seperti bara kecil yang mulai menyala, meski aku tak tahu kapan ia akan menjadi api.


Aku kembali ke tempat itu—tempat di mana semuanya terasa lebih hidup meski sepi. Angin sore yang biasa terasa dingin kini membawa kenangan tentang kata-kata Ariyanti. "Aku ingin hidup, bukan hanya sekadar bertahan." Kalimat itu terus menggema di kepalaku, seperti mantra yang tak bisa kuhentikan.


Saat aku duduk di atas batu besar di tepi sungai, pikiranku melayang jauh. Aku membayangkan dunia di luar desa ini, tempat di mana kehidupan mungkin lebih keras, tapi setidaknya tidak membelenggu. Mungkin di sana aku bisa menemukan arti dari semua pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawaban di sini.


Aku hampir tenggelam dalam lamunan ketika suara lembut yang kukenal memecah keheningan.


“Menungguku?”


Aku menoleh cepat. Ariyanti berdiri di sana, dengan senyum tipis yang membuat udara terasa lebih hangat. Ada sesuatu dalam caranya memandang yang membuat waktu berhenti sejenak—seperti saat langit menjelang senja, indah tapi sulit dijelaskan.


“Kau selalu muncul di saat yang tepat,” kataku, setengah bercanda, setengah berharap.


Dia duduk di sebelahku, menjaga jarak seperti biasa, tapi kehadirannya memenuhi seluruh ruang yang ada. Kami menatap aliran sungai yang tenang, tapi di dalam dada, aku tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar air yang mengalir.


“Aku ingin tahu…” suaraku pelan, seperti takut merusak suasana. “Bagaimana kau bisa yakin bahwa ada sesuatu yang lebih baik di luar sana? Bagaimana jika dunia di luar sama saja… atau bahkan lebih buruk?”


Dia menatapku, matanya dalam, seperti mencoba membaca hatiku. “Aku tidak tahu,” jawabnya lirih, “Tapi aku lebih takut hidup dalam dunia yang tidak pernah kumengerti. Hidup di tempat yang membuatku merasa seperti orang asing dalam hidupku sendiri.”


Aku terdiam. Kata-katanya menusuk jauh lebih dalam dari yang kukira. Dia tidak mencari dunia yang sempurna. Dia mencari dunia yang memberinya pilihan. Dunia yang membuatnya merasa hidup, meskipun penuh dengan ketidakpastian.


“Dan kau?” tanyanya, suaranya lembut tapi tegas. “Apa yang sebenarnya kau cari, Awan?”

Lihat selengkapnya