MAHAJANA (sebuah novel filsafat)

Lutva Nanda Bayu Setyawan
Chapter #3

Jejak yang melawan


Hari-hari berlalu seperti biasa di desa ini: matahari terbit tanpa kompromi, ayam berkokok, dan suara Pak Sastro yang lantang memanggil para pemuda untuk turun ke ladang. Dunia bergerak dalam pola yang sudah ditentukan jauh sebelum kami lahir—sebuah siklus yang tak pernah berubah.


Tapi sejak Ariyanti datang, ada yang berbeda. Tidak pada desa, tapi pada caraku memandang dunia.


Pagi itu, aku melihatnya berdiri di tepi sungai, di tempat biasa kami bertemu. Matanya yang gelap menatap aliran air dengan cara yang sulit kupahami, seolah ada rahasia yang disampaikan oleh riak-riaknya.


“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku, menghampirinya.


Dia tersenyum samar, sebuah senyum yang lebih terasa seperti luka yang belum sembuh. “Tentang dunia di luar sini... apa ia benar-benar ada, atau hanya ada dalam pikiran kita?”


Aku terdiam. Ariyanti sering bicara seperti itu, seperti seseorang yang berdiri di ambang pintu antara kenyataan dan mimpi.


“Terkadang aku berpikir... bagaimana jika dunia ini lebih luas dari yang kita tahu?” lanjutnya. “Bagaimana jika kita bisa memilih hidup yang berbeda?”


“Tapi di sini, tidak ada yang bisa memilih,” jawabku pelan. “Kita lahir, hidup, dan mati... seperti air sungai ini yang tak pernah bisa melawan arus.”


Ariyanti menunduk, mengambil sebatang ranting, lalu melemparkannya ke dalam air. Ranting itu terombang-ambing, terhanyut tanpa daya.


“Tapi setidaknya... aku ingin mencoba,” bisiknya.


Lihat selengkapnya