[]
Menangkupkan kedua sayapnya rapat-rapat pada tubuh, seekor celepuk blirik kelabu-putih-hitam menukik cepat. Kedua matanya awas, menatap tajam seekor tikus yang tengah mengerat akar pohon. Cahaya śaśadhara yang menerobos di antara atap dedaunan pada hutan terpantul di mata burung yang mampu terbang tanpa suara itu.
Beberapa depa dari tanah, sang celepuk mengembangkan kedua sayap. Cakarnya terbuka dan dengan sekali sapuan, tikus yang dia incar telah tercengkeram erat. Mengepakkan sayap, celepuk itu kembali mengangkasa.
Banyu Guritwangi memperhatikan celepuk yang mengangkasa dengan tikus di cengkeraman hingga burung itu menghilang di balik pepohonan hutan. Bagaikan hantu, tanpa suara dia memperhatikan hutan di sekitarnya. Telinga pemuda itu awas mendengarkan setiap suara. Bahkan, dia mampu mendengarkan suara rayap yang mengerikiti batang pohon tempatnya bertengger. Ketika satu suara yang diincarnya terdengar, dia berdiri.
Dalam sekali melompat, pemuda berambut cepak itu meninggalkan cabang pohon tempatnya duduk dan memijak cabang pada pohon lain. Tak sampai tiga hitungan, kakinya melenting kembali. Sebelah tangannya terulur, menangkap sebuah cabang kecil. Kini, dia bergelantungan di sana. Lalu, dalam sekali ayun, dia lemparkan tubuhnya ke atas, menjejak cabang itu dan kembali melompat. Kali ini ke tanah. Kedua kakinya menjejak tanah yang tertutup dedaunan kering. Tubuh membungkuk, tangan kanan menjadi tumpuan. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman.
Di hadapan Banyu Guritwangi, terpisah jarak empat tombak adalah seekor macan kumbang. Tubuh binatang itu hitam legam tersamar dalam kegelapan. Hanya kedua mata yang tampak menyala, menatap tajam ke arah si pemuda dengan mulut terbuka, menampakkan taring runcing mengerikan. Dengan suara rendah tetapi penuh tekanan, binatang itu menggeram.
Perlahan, Banyu Guritwangi menegakkan tubuh. Kedua matanya tak lepas dari si macan kumbang. Sementara binatang itu berjalan pelan menyamping, si pemuda enam belas warsa menggeser kaki menyiapkan kuda-kuda. Lengan kanannya terentang, menghimpun daya dari udara dan berhenti di depan dada. Telapak tangan kanan terbuka berdiri, menghadap ke kiri. Sementara, tangan kirinya terjulur ke depan dengan tinju terkepal.
Si macan kumbang memperhatikan Banyu Guritwangi lekat-lekat. Binatang itu seperti tengah memperhitungkan serangan. Dengan pelan, dia berjalan mengitari Banyu Guritwangi. Matanya tak lepas dari pemuda yang mengenakan ikat kepala sewarna lempung di hadapannya.
Banyu Guritwangi ikut memutar tubuh. Kedua tangan tetap siaga. Siap menerima serangan kapan pun.
Si macan kumbang berhenti melangkah. Tubuhnya tepat menghadap Banyu Guritwangi. Kaki depan bergerak pelan. Tengkuk merunduk. Tatapan menajam. Lalu, dalam sekali jejak, binatang itu melompat. Aumannya mengancam buas. Kaki-kaki depan terjulur. Cakar terbuka.
Banyu Guritwangi merendahkan tubuh ke belakang. Tangannya dengan sigap menangkap sebelah kaki depan si macan kumbang yang melompat di atasnya dan membanting kucing besar itu sementara dia sendiri berputar.
Sang macan berbulu hitam memutar tubuh. Dengan sigap kembali menjejak, cakar mencengkeram erat pada tanah. Dengus napasnya memburu. Menggeram pelan penuh hasrat. Dalam sekali embusan angin, binatang buas itu kembali menerjang.
Banyu Guritwangi berkelit. Tangannya terentang untuk menangkis kaki depan si kucing besar yang terjulur ke arahnya. Mereka bertarung. Saling menangkis dan menerjang.
Suara angin tertebas di sekitar mereka menarik binatang-binatang hutan untuk mengintip dari balik pepohonan maupun cabang-cabang. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat.
Terdorong mundur beberapa langkah, Banyu Guritwangi menatap pundak kanannya. Bajunya koyak. Kulitnya ikut robek. Darah segar mengalir dari sana. Meringis, pemuda itu mengatur napas. Sejenak kemudian saat si macan kumbang kembali menyerang, dia menangkap leher binatang itu dengan kedua tangan dan menguncinya di tanah. Satu gerakan saja dari si macan dan leher binatang itu akan patah.