[]
Iring-iringan kereta terlihat melintasi bulak di sebelah barat Istana Wwatan. Kereta itu dibuat dari kayu jati pilihan dan diukir dengan sangat indah serta berlapis emas dan dihiasi permata aneka warna yang berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Jendelanya tertutup kain sutra terbaik yang didatangkan langsung dari negeri para orang sipit berkulit kuning.
Seekor kuda menarik kereta itu. Tinggi, tegap. Itu kuda peranakan terbaik. Berwarna cokelat bersih dengan surai dan ekor putih kecokelatan. Bercak putih tampak di kening kuda itu, terlihat seperti lukisan bintang. Seorang kusir berpakaian khas abdi istana mengendalikan sang kuda. Sementara itu di belakang kereta, selusin prajurit turut mengawal.
Di samping kereta kencana, seorang lelaki duduk tegap di atas kuda kelabu bertotol-totol hitam. Rambutnya yang panjang digelung dalam kain penutup kepala. Berkumis hitam tebal dan memiliki rahang keras, lelaki tiga puluh delapan warsa itu adalah Senapati Setayudha, salah seorang senapati utama di Kerajaan Medang.
Setelah melintasi bulak, iring-iringan kereta kencana berbelok ke utara. Mereka menyusuri jalanan lengang dan melintasi hutan yang tak terlalu luas, lalu berbelok sedikit ke timur laut memasuki wilayah Lwaram. Matahari terus naik makin tinggi seiring perjalanan mereka. Ketika matahari telah condong di barat, akhirnya mereka memasuki kutaraja Kerajaan Lwaram.
Senapati Setayudha mendekatkan kudanya ke samping jendela kereta ketika kain yang menutupi jendela itu tersibak.
“Kita telah sampai, Gusti Ayu,” ujar senapati itu. “Saya akan memberitahukan kedatangan Gusti kepada penjaga gerbang.”
Di balik kain yang tersibak, terlihat seorang gadis yang sangat jelita. Dia, sebagaimana para pujangga istana menggambarkannya: berwajah bulat bercahaya bak rembulan purnama; mata cemerlang seperti bintang di langit; rambut sehitam jelaga yang berkilauan. Dan, ketika dia tersenyum, bibir merahnya merekah bagaikan bunga mawar di pagi hari.
Siapa pun yang melihat kecantikan sang putri dari balik jendela kereta kencana akan terpesona. Rambutnya sebagian tersanggul ke atas dan sisanya tergerai lurus hingga punggung. Hiasan kepala tersemat pada sanggul rambutnya. Pada kedua telinga, tergantung indah giwang emas berhias mutu manikam. Di lehernya pun tergantung perhiasan yang tak kalah indah.
“Lakukan, Paman.” Lembut, gadis itu bersuara serupa gemercik air di pegunungan. Jernih dan menyejukkan. Dialah sang sekar kedaton, putri mahkota Kerajaan Medang. Dewi Suprabha.
Mendapat izin dari junjungannya, Senapati Setayudha menghela kuda mendekati gerbang istana Kerajaan Lwaram.
Sementara itu, penjaga gerbang Istana Lwaram tersenyum melihat iring-iringan kereta kencana dari kejauhan. Saat salah seorang dari rombongan itu mendekat, dia menyuruh temannya untuk menyampaikan kedatangan mereka kepada sang raja sementara dirinya membuka pintu gerbang.
Ketika Senapati Setayudha turun dari kuda, penjaga gerbang segera menjura. “Selamat datang di Istana Lwaram, Tuan,” sambutnya seraya menerima tali kekang kuda Senapati Setayudha dan memberikan kuda itu kepada kaṭik yang telah berada di sana.
Senapati Setayudha mengangguk. “Kamu sudah mengirim kabar kedatangan kami?”
“Sudah, Tuan.” Penjaga itu mengangguk, dia menyingkir saat iring-iringan kereta kencana tiba.
Seorang lelaki berwajah ramah datang mendekat dari arah istana. Dia tersenyum lebar sembari merentangkan tangan.
“Kakang Mahisa.” Senapati Setayudha tersenyum menyambut pelukan kakak seperguruannya yang mengabdi kepada Aji Wurawari, raja di Kerajaan Lwaram ini.