[]
"Semoga Gusti Putri berkenan dengan bilik sederhana ini." Kanuruhan Mahisa Seta sedikit membungkuk dengan tangan terentang mempersilakan Dewi Suprabha memasuki bilik keputren.
Dewi Suprabha tersenyum. Wajahnya yang tertimpa sinar damar terlihat makin cemerlang.
"Terima kasih, Paman."
Kanuruhan Mahisa Seta mengangguk. "Jika Gusti Putri memerlukan sesuatu, di luar ada prajurit penjaga. Saya akan menyuruh dayang membawakan hidangan kemari."
Menjura, lelaki empat puluh dua warsa itu undur diri dan meninggalkan bilik keputren. Dia berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju sisi lain istana. Setelah menyampaikan pesan kepada seorang prajurit agar memberi tahu para dayang di dapur istana, Kanuruhan Mahisa Seta melanjutkan langkah.
Deretan mārgadīpa menyala menerangi Istana Lwaram. Istana itu memang tak sebesar istana di Wwatan, tetapi tak kalah indahnya. Terletak di dekat aliran Sungai Wulayu, Istana Lwaram dibangun menggunakan batuan yang kokoh dan kayu-kayu jati berukir indah.
Seorang lurah prajurit tampak berdiri menunggu di dekat sebuah bilik yang terletak di sayap kiri istana. Bersedekap, lelaki berusia dua puluhan warsa itu menatap jauh ke arah beberapa lelaki yang tengah berlatih di halaman latih yuda.
Kanuruhan Mahisa Seta menghampirinya.
"Mereka sudah datang?"
Sang lurah prajurit menjura. "Sudah, Gusti," ujarnya.
"Di mana Senapati Gagak Wungu?"
"Bersama mereka, Gusti."
Kanuruhan Mahisa Seta mengangguk. "Ambilkan kudaku," perintahnya.
Si lurah prajurit menjura sebelum undur diri. Namun, baru beberapa langkah, Kanuruhan Mahisa Seta memanggil.
"Dipa," serunya, membuat si lurah prajurit berhenti dan menoleh. "Bawa juga Ki Sapari."
Dipa, lurah prajurit itu, mengangguk. "Sājñândika, Gusti," ujarnya sebelum kembali berlalu.
Tak ingin diam menunggu, Kanuruhan Mahisa Seta melangkah pelan ke arah pintu gerbang utama istana. Sembari menghirup udara malam, dia melintasi jalan setapak dengan penerangan dari mārgadīpa yang berjejer di sisi jalan.
"Kakang! Kakang Mahisa Seta!"
Kanuruhan Mahisa Seta berhenti dan menoleh. Senapati Setayudha terlihat berlari kecil ke arahnya.
"Kau belum tidur, Seta." Kalimat Kanuruhan Mahisa Seta bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan hanya menyatakan apa yang sudah jelas.
Senapati Setayudha menggeleng. "Kakang mau ke mana?"
Tidak menjawab, Kanuruhan Mahisa Seta mengajak adik seperguruannya untuk berjalan bersama. Mereka berjalan beriringan dalam diam. Makin senyap tatkala angin dingin mengembus, menggoyangkan api mārgadīpa.
"Bagaimana kabar Guru?" tanya Kanuruhan Mahisa Seta setelah keheningan yang lama.