[]
Kejadian itu sangat tiba-tiba. Sekelebat bayangan muncul dari semak-semak dan mendarat tepat di depan Siddharta. Kuda cokelat yang Siddharta tunggangi meringkik keras sembari mengangkat dua kaki depan karena kaget dan bingung.
"Tenanglah, Riwut, tenang," bisik Siddharta berusaha menenangkan sang turangga.
"Ada apa?" Dari depan, Kanuruhan Mahisa Seta bertanya dan saat menoleh kepada lelaki itulah Siddharta baru melihat dengan jelas sosok yang telah membuat kudanya belingsatan. Di sana, di antara dirinya dan Kanuruhan Mahisa Seta. Bertubuh hitam legam dengan mata berkilat, makhluk itu berdengkur siaga.
Ki Sapari yang berada di belakang Siddharta terperangah. "Macan kumbang," desisnya seraya mengarahkan kudanya ke samping Siddharta.
Tangan kanan Siddharta perlahan meraih gagang keris yang terselip di punggungnya. Namun, sebelum sempat dia menarik senjata itu, sosok lain muncul dari kegelapan. Kali ini seorang pemuda, remaja jika dilihat dari perawakannya. Masih sangat muda.
"Maaf mengganggu perjalanan Tuan-Tuan." Pemuda itu berkata seraya menjura kepada mereka bertiga. Lalu, tanpa diduga dia mengetuk pelan kepala si macan kumbang dan berkata, "Simha, minta maaflah!"
Siddharta pernah melihat seseorang berbicara kepada hewan peliharaannya seperti ayam atau burung. Dia sendiri kerap berbicara kepada kuda cokelat miliknya yang dia namai Riwut. Namun, untuk melihat seseorang berbicara kepada macan kumbang—entah itu teman atau binatang peliharaan—terasa tidak biasa. Bahkan bagi Siddharta. Yang lebih mencengangkan lagi adalah ketika si macan kumbang bernama Simha itu menekuk kaki belakangnya dan merendahkan kepala. Seolah-olah binatang itu sedang menjura.
"Lain kali kau tidak boleh begitu saja mengganggu perjalanan orang, Simha, atau Kakek akan marah." Pemuda itu kembali berkata seraya menepuk-nepuk punggung si macan kumbang. Setelah mengucap maaf sekali lagi, dia mengajak binatang itu pergi.
Siddharta dan dua teman seperjalanannya saling pandang. Mereka masih sama-sama terpana. Tercengang dengan apa yang baru saja terjadi. Baru setelah dua kali angin dingin berembus, Kanuruhan Mahisa Seta mengerjap. "Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," ujar lelaki itu sembari menarik tali kekang, mengarahkan kudanya untuk berbalik dan melanjutkan perjalanan.
Udara malam pertengahan sasi Phalguna yang dingin dan berkabut menerpa mereka, tetapi tiga lelaki berbeda usia itu tetap berderap. Bahkan makin cepat.
Siddharta memacu kuda cokelat tunggangannya agar berderap lebih cepat. Di depannya, Kanuruhan Mahisa Seta melaju bagaikan angin dan di belakangnya, Ki Sapari mengikuti. Mereka bertiga susul-menyusul.
Saat gerbang istana terlihat, kokok pertama ayam terdengar di kejauhan. Hanya satu dua, menandakan bahwa tengah malam belum lama terlewati.
Tampaknya, penjaga gerbang melihat kedatangan mereka karena begitu mendekat, gerbang langsung dibuka. Kanuruhan Mahisa Seta menarik tali kekang kudanya hingga berhenti.
Melihat Kanuruhan Mahisa Seta turun dari kuda, Siddharta melakukan hal yang sama. Juga Ki Sapari. Mereka menuntun kuda-kuda mereka, berjalan dalam diam melintasi halaman istana dan langsung menuju kandang kuda yang terletak di bagian paling belakang istana.
Siddharta menatap gedhongan di hadapannya dengan takjub. Itu kandang yang besar dan luas dengan banyak kuda di dalamnya. Sriwijaya adalah kerajaan yang besar, tetapi mereka tidak memiliki kuda sebanyak ini karena kekuatan utama mereka ada di lautan. Akan tetapi, di sini... Siddharta tahu bahwa Lwaram adalah kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Medang, tetapi dia tidak menyangka jika kerajaan ini sebenarnya cukup besar dan kaya. Selama ini yang dia ketahui Lwaram mengadakan hubungan dengan Sriwijaya karena mereka kesulitan dengan upeti dan Sriwijaya adalah sekutu yang cukup menjanjikan. Namun, dia tidak ingin menduga-duga karena dirinya baru sekali ini menjejakkan kaki di Lwaram. Jika dia ingin mengetahui sesuatu, dia harus memeriksanya terlebih dahulu. Dan, dia tahu itu tidak cukup dengan pendapat yang muncul dalam selayang pandang.
Setelah meletakkan kuda-kuda di dalam kandang, Siddharta dan Kanuruhan Mahisa Seta mengikuti Ki Sapari menuju kediamannya yang berada tak jauh dari kandang kuda. Rumah itu tak terlalu besar, tetapi juga tak bisa dikatakan kecil. Dindingnya terbuat dari kayu jati berukir yang dipoles sehingga menghasilkan warna cokelat alami. Serumpun bunga arum dalu—sedap malam—menghiasi sisi kanan halaman rumah itu. Bunganya yang tengah mekar menguarkan aroma semerbak yang khas. Di teras rumah, tersedia seperangkat meja dan kursi. Sebuah damar bokor perunggu tergantung di langit-langit di atas meja.
Ki Sapari berdiri di depan pintu, sementara Kanuruhan Mahisa Seta dan Siddharta berdiri di belakangnya.