[]
Banyu Guritwangi mendarat dengan luwes di sebuah cabang pohon. “Ayo, Simha!” panggilnya kepada si macan kumbang yang bergerak santai di tanah yang tertutup dedaunan kering.
Tidak biasanya kau bersemangat seperti ini, gumam Simha dalam benak Banyu Guritwangi.
Pemuda itu tertawa. “Ayolah,” ujarnya. “Ini pagi yang segar. Pada musim hujan seperti ini, pasti air kembali menggenangi telaga itu.”
Banyu Guritwangi melangkahkan kaki pada satu cabang pohon ke cabang pohon lain. Tidak bergegas, tetapi juga tidak lambat. Gerakannya luwes seolah-olah sama sekali tanpa tenaga. Tahu-tahu, dia sudah bergerak jauh.
Mereka sedang menuju puncak Gunung Lawu, seperti yang biasa mereka lakukan saat musim rĕṅrĕṅ tiba. Ini tithi kedua kresnapaksa pada sasi Phalguna, bulan kedelapan yang berada di pertengahan musim hujan. Pada masa ini, pagi hari di hutan Gunung Lawu hampir selalu diselimuti kabut sementara matahari bersinar hangat di langit timur.
Pagi yang cerah berkabut membuat Banyu Guritwangi bersemangat. Pemuda berkulit sawo matang itu selalu senang menghidu udara pagi bercampur embun yang menyegarkan. Lebih-lebih di puncak Gunung Lawu, tepatnya di sebuah cekungan yang terletak di antara dua puncak Lawu, terdapat sebuah telaga yang hanya akan terisi air saat musim hujan tiba. Telaga Kuning namanya. Disebut demikian karena rumput yang tumbuh di dasar telaga berwarna kuning sehingga seolah-olah air telaga berwarna kuning.
Mata Banyu Guritwangi berbinar tatkala melihat satu pohon yang menarik perhatiannya. Tinggi pohon itu sekitar dua tombak—atau mungkin lebih—dengan batang sebesar kaki manusia serta memiliki banyak cabang kecil dan dedaunan hijau. Banyu Guritwangi berayun ke salah satu cabang pohon itu. Dengan hati-hati dia menjejakkan kaki di sana. Dia memeriksa, dan saat melihat sebuah sarang di cabang pohon sebelah atas, pemuda itu tersenyum. Dia berayun ke cabang pohon terdekat dan mengamati dalam diam burung yang tinggal di sarang itu.
Burung tiung batu senang bersarang di cabang pohon bunga senduro. Burung berukuran kecil dengan sayap indah mengilap dan suara merdu itu salah satu binatang yang disukai Banyu Guritwangi. Dia senang mendengarkan kicau burung tiung batu. Melihat si burung mungil berkicau di sarangnya yang terletak di cabang pohon bunga senduro selalu bisa membuat hati Banyu Guritwangi merasa tenang. Lebih-lebih saat bunga senduro mekar—yang pemuda itu taksir akan terjadi sesasi dari sekarang—dengan warna putih gading yang menarik hati. Banyu Guritwangi selalu merasa kagum dengan bunga senduro, bunga yang mampu bertahan di tanah tandus sekalipun.
Kata Kakek, bunga senduro melambangkan lima perkara yang harus dimiliki setiap manusia dalam hidup.
"Jadilah seperti bunga senduro: tĕtĕp, tĕmĕn, eliṅ, inakṣama, dan anarima."
Tĕtĕp artinya memiliki ketetapan hati, keteguhan sikap. Tĕmĕn berarti bersungguh-sungguh dalam setiap perbuatan maupun perkataan. Eliṅ itu ingat, artinya mawas diri. Inakṣama atau bersabar terhadap segala cobaan dalam hidup, dan anarima alias berserah diri terhadap ketetapan Sang Hyang Eka.
Bunga senduro memiliki itu semua. Dia menerima keadaan dirinya yang hidup di tanah tandus, oleh karena itu dia berusaha bersungguh-sungguh dengan mengembangkan akar-akarnya agar dapat bertahan hidup. Dia bersabar ketika musim kering tiba dan tetap tegak berdiri meskipun rumput-rumput di tanah mulai kering. Saat musim hujan tiba, bunga senduro ingat untuk bersyukur dengan mengembangkan bunga-bunga yang sedap dipandang.
Itulah bunga senduro, bunga yang bagaikan hidup abadi karena mampu bertahan di tanah tandus dan musim yang sulit sekalipun. Bunga yang tetap segar meski kau memotongnya. Bunga yang mengering setelah waktu yang lama, tetapi tidak pernah layu.
Banyu Guritwangi tidak pernah melupakan wejangan Ki Jayengwana, sang kakek yang telah merawatnya sejak dia masih bayi merah.