Mahar 25 Tahun

Bai Ruindra
Chapter #1

Prolog

Aku harus pulang! Kurasa aku memang harus pulang. Semua inginku sudah terealisasi, termasuk berada di pulau ini!

Muara Sungai Hudson, New York

Riak air bening dari Sungai Hudson membawa anganku kembali ke Kampung Pesisir Pantai Barat Aceh. Tidak bisa kupungkiri, dari sungai yang mengalir di kampungku, di antara Eceng Gondok, aku bersama perempuan-perempuan lain mencuci pakaian setiap Minggu pagi. Sungai yang melingkari kampungku airnya berwarna keruh, dan lebih tenang. Banyak ikan di sana dan banyak pula kotoran antah berantah. Tak sampai satu kilometer mata memandang, rakit bambu beriringan dipinggir sungai. Rakit bambu dibuat bersama-sama oleh laki-laki kampungku, terdiri dari dua lapis, selapis bisa sampai sepuluh batang bambu. Di atas rakit terapung inilah kami mencuci pakaian serta buang air besar dalam kakus kecil tak beratap di sisi ujung bambu yang daunnya sudah ditebas, sedangkan di sisi pangkal dan tengah inilah kami duduk berbaris. Kami bisa membentuk tiga baris, masing-masing baris di depannya kami ikatkan papan sebesar dua jengkal. Papan ini akan membantu kami dalam membilas baju-baju kotor sambil bercerita panjang lebar. Tak ayal, cerita bermula akan lelahnya mencuci, lalu beranjak membicarakan si anu dan si anu yang membuat kampung ini jadi begini dan begitu.

Bila banjir tiba, sungai di kampungku akan meluap dan meninggalkan bekas tak sedikit. Eceng Gondok yang entah datang dari mana memenuhi setiap sudut sungai dengan air yang keruh. Di antara Eceng Gondok, bekas kotoran terkadang mengapung di sana-sini. Lantas, kami akan menyingkirkan Eceng Gondok ke tengah sungai atau melemparnya ke darat. Saat Eceng Gondok makin tumbuh banyak, aku memilih tidak mencuci pakaian di sungai. Kuhindari rasa gatal berkepanjangan karena air sudah tidak bersih. Laki-laki di kampungku pun sudah bosan membersihkan Eceng Gondok yang menutupi seluruh sungai. Bukan pekerjaan mudah menyingkirkan tanaman liar itu, gotong royong pun bisa memakan waktu seharian. Laki-laki kampungku harus saling bergantian duduk di sampan memungut Eceng Gondok lalu diantarkan ke darat. Karena kampungku sering banjir, maka terbiarlah Eceng Gondok berkembangbiak dengan sendirinya.

Air di sungai kampungku sudahlah keruh. Air di Sungai Hudson tidaklah sama dengan kampungku, air mengaliri dengan warna yang tak jauh beda dengan air laut. Tidak ada Eceng Gondok, tidak ada rakit bambu, tidak ada pula kotoran manusia atau kotoran-kotoran lainnya. Airnya yang bening seperti membawa mataku ke dasar sungai. Sesekali kulihat ikan berenang, entah dari jenis apa. Kuprediksi, ikan ini bukan jenis yang sama dengan di kampungku.

Lihat selengkapnya