Bandara Sultan Iskandar Muda
Langkahku kembali tertatih di negeri penuh gejolak. Kucium aroma amarah di mana-mana. Kuhirup angin sore yang menerpa pori-pori, rasanya tidak lagi dingin seperti di Benua Amerika. Udara polusi, mungkin bukan karena di sekitar bandara ini banyak pohon menjulang angkasa. Udara panas menyengat di hari menjelang senja ini kurasa sangat luar biasa. Mungkin perasaanku saja, mungkin memang matahari sudah sangat marah pada kami di negeri lika-liku ini.
Di terminal kedatangan tidak ada bayang orang-orang tercinta di setiap sudut mataku menyapu pandang. Orang tuaku jauh di Kampung Pesisir Pantai Barat. Teman-temanku sebagian tidak lagi berdomisili di Banda, sebagian masih berkutat dengan perkuliahan padat di luar negeri, sebagian sudah berkeluarga, dan sebagain lagi tidak pernah ada kabarnya sama sekali. Terkadang tidak ada alasan khusus untukku mengabari kepulangan ini. Keluarga pun sudah kularang jauh-jauh hari menjemput ke Banda, aku akan menghabiskan sisa waktu beberapa hari saja di Banda sebelum benar-benar pulang ke Kampung Pesisir. Termasuk reuni yang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari bersama teman-teman semasa kuliah sarjana dulu. Lagi pula, Ibu sudah lelah sekali pergi jauh di usianya yang renta, abang-abangku juga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku tidak merasa fana di alam yang penuh dinamika, setiap rasa sudah cukup mengantarku pada kebisingan. Orang-orang hilir-mudik, rona bahagia tersirat dari mereka saat bertemu sanak keluarga, saling berpeluk, saling membenahi senyum yang lama padam. Dan para sopir taksi dengan penuh semangat tanpa lelah menawarkan jasa pada semua orang yang berkoper. Seorang dari mereka mendekatiku. Sopir taksi itu tidak lagi heran dengan dua koper besar di hadapanku. Raut wajahnya memperlihatkan suatu kewajaran menemukan kelelahan dari rona seseorang yang baru sampai dari perjalanan jauh. Apalagi aku, masih muda, pikirannya pasti tahu bahwa aku mantan mahasiswa luar negeri yang baru menyelesaikan kuliah penuh perjuangan di negeri orang.
“Taksi, Kak?” tanya sopir taksi itu. Kutaksir umurnya tidak jauh beda denganku. Mungkin lebih muda, pekerjaan ini membuatnya kelihatan lebih tua dari umurnya. Mungkin juga lebih tua dariku. Gerak-geriknya seperti sopir taksi kebanyakan, mencari penumpang yang akan meninggalkan bandara. Karena kebanyakan taksi di sini tidak menggunakan argometer, tawar-menawar pun menjadi pilihan tepat.
“Enam puluh ribu sampai ke Banda, Kak!” tegas sopir taksi itu lagi. Penekanan pada sebutan kakak membuatku tersadar dari lamunan di antara kerumunan penumpang yang baru saja ditingalkan pesawat komersil dari Jakarta. Sebutan kakak sangat lumrah di Aceh, untuk perempuan yang belum dikenal sekadar untuk menghormati. Ada juga yang memanggil adik untuk orang yang dirasa lebih muda.
“Bagaimana?” tanya sopir taksi muda itu lagi. Mungkin dia tidak akan sabar menanti jawabanku, penumpang lain sudah berderet di muka utama terminal kedatangan ini. “Masih bisa kurang kok, kak,” imbuh laki-laki muda itu lagi. Kurasa, bukan karena masalah ongkos. Enam puluh ribu di tahun kelima setelah tsunami Aceh masih terdengar wajar. Namun entah, aku seperti terhipnotis oleh suasana yang damai. Perempuan-perempuan berpakaian sopan dengan kerudung menjuntai sampai dada. Laki-laki berpakaian tertutup, selama aku duduk di kursi menghadap ke pintu keluar belum pernah sekali pun aku melihat laki-laki mengenakan celana di atas lutut. Aku juga tidak enak hati menurunkan harga taksi standar itu, rezeki sopir taksi hanya di sini, rezekiku bisa di mana saja. Sekali jalan dari bandara ke pusat kota provinsi Aceh hanya enam puluh ribu, balik ke bandara terkadang tak ada penumpang, sama dengan tidak ada pemasukan. Dalam sehari bisa kurang dari keinginan mencukupi kebutuhan hidup mereka. Aku sendiri, masih bisa bersyukur dengan semua yang kumiliki. Memang, selama aku di Amerika, Ibu tidak pernah lagi mengirim uang jajan perbulan karena beasiswa yang kumiliki melebihi segala. Bahkan, aku masih punya sisa beasiswa yang sengaja kusimpan untuk beberapa keperluanku selama belum ada pekerjaan di negeriku ini.
“Kita berangkat, Bang!” ujarku yang kemudian merekah senyum dari sopir taksi itu. Penantiannya berbuah manis sore ini, lelahnya akan terobati dan bisa kembali ke pangkuan keluarganya lebih cepat. Tanpa diberi komando sopir taksi itu mengangkat satu persatu koperku ke dalam taksinya. Kuamati mobil penumpang ini tak ubah dari mobil pribadi milik orang kaya di Aceh yang semakin ramai.
Kami sudah meninggalkan jalan melingkar di bandara. Jalan lurus dan berbelok mengantarkanku ke Banda. Sebenarnya, orang mengatakan bandara ini terletak di Banda, padahal bandara ini di kawasan Aceh Besar di antara hutan belantara, pengunungan dan pemukiman penduduk.
“Pulang dari mana, Kak?” tanya sopir taksi yang kemudian kutahu namanya Mahdi.
“Amerika,” jawabku singkat.
“Wah, hebatlah kakak ini bisa sekolah ke negeri orang mata biru!”
Aku mengukir senyum.
“Saya hanya lulus SMA, tiga tahun jadi pengangguran baru jadi sopir taksi setelah menikah dua bulan lalu,”