Mahar 25 Tahun

Bai Ruindra
Chapter #3

Reuni

Deru ombak bersahutan saling memekik dengan suara-suara lain di bibir pantai ini. Sudah lima belas menit lalu kami bercengkrama dan menunggu. Satu persatu teman-temanku berdatangan dengan berbagai gaya, masing-masing punya ciri khas tersendiri. Ada yang dulu abai terhadap penampilan sekarang malah sangat fashionable. Ada yang dulu pendiam sudah banyak tata bahasa, entah sejak kapan belajar berkata-kata tanpa jeda. Ada yang dulu sangat sopan berpakaian, bisa kuhitung tak pernah pakai celana ketat kini kerudungnya sudah melilit di leher. Ada yang dulu ratu kecantikan di kelompok kami, ke mana-mana selalu bermake-up, celana kecil ke bagian bawah, baju lebih kecil dari ukuran tubuhnya, kerudung selalu tidak pernah menutupi dada sekarang malah lebih sopan pakaiannya dibanding kami semua. Semua bisa berubah. Bagi yang ingin!

Di dalam saung beratap rumbia dan beralas papan persegi empat, kami berlima duduk melingkar. Sesekali pandanganku menyapu pasir putih dan orang-orang berselancar di antara ombak membesar. Kebanyakan dari peselancar bermata biru dan berambut pirang dengan postur tubuh lebih besar dari tubuh pribumi. Di bibir pantai, para pejalan kaki saling kejar dan penuh canda. Ada juga yang bermain dengan jilatan ombak. Ada pula yang berenang di antara ombak. Ada pula yang duduk-duduk menghadap ke lautan lepas.

Matahari sudah sangat condong ke barat. Hawa panas membuat kulit wajahku terasa begitu kusam. Bisa-bisa warna kulitku segera berubah kembali gelap dalam sekejap. Bukan tidak bersyukur dengan warna kulit yang kumiliki, selama menetap di benua orang-orang berkulit lebih terang aku pun ikut menjadi ikut-ikutan mereka. Ternyata benar, cuaca membawa pengaruh pada tubuhku yang sensitif dan mudah beradaptasi dengan keadaan.

Pantai Lampuuk punya tempat tersendiri bagi kami. Pantai ini selalu saja meninggalkan kesan tidak terdefinisi dalam batinku. Walaupun pantai ini berulang kali menelan korban, tidak mengurung niat orang-orang berlibur bersama teman-teman mereka maupun keluarga. Pantai ini tidak terkotori dengan orang-orang berpakaian tidak sopan, siapa juga tahu negeri ini sudah mengatur tata berpakaian sopan. Beberapa kali aku pernah ikut piknik bersama teman-teman semasa kuliah di tempat wisata Amerika, aku jadi malu sendiri melihat pemandangan yang selama ini hanya kulihat dalam film-film. Perempuan berpakaian sangat minim, hanya menutup bagian penting saja. Laki-laki pun demikian. Di sini, laki-laki peselancar itu yang tak lain warga negara asing mengikuti peraturan negeri ini.

Kelapa muda yang kami pesan terhidang juga di depan kami berlima. Seteguk kelapa muda ini rasanya tidak sebanding dengan kelapa muda di tempat lain. Karena kami di tepi lautan lepas dengan pemandangan yang mahaindah. Lukisan Sang Kuasa tidak mampu membuat mataku berpaling darinya. Belum ada pula pelukis yang mampu menoreh gunung melingkar, lautan biru, pantai putih, deru ombak, saung-saung berjejer rapi, dan matahari yang mulai tenggelam, ke kanvas mereka dengan penuh imajinasi.

Selalu saja. Sifat narsis memuncak begitu Arin mengeluarkan kamera besar miliknya. Kami semua tahu, Arin sang fotografer dalam kelompok kami. Perempuan yang dulu kurus ini lebih beruntung dari kami semua, selesai sarjana langsung terbang ke Australia mengejar pendidikan selanjutnya.  Penampilan Arin pun sudah berubah. Arin yang dulu membantai kami yang berpakaian minim dengan nasehatnya kini malah terbalik. Perempuan yang ke mana-mana dengan kameranya itu memang pernah kulihat memposting beberapa foto dirinya di jejaring sosial dengan celana ketat dan berbagai gaya bersama teman-teman lelaki mata birunya di Australia. Setahuku, Arin paling anti dengan celana ketat dan bertegur sapa dengan laki-laki sangat jarang. Kami seperti sama-sama menerima perubahan masing-masing dan tidak ada yang memberi unek-unek akan perubahan ini. Kurasa kami punya pandangan tersendiri akan masalah pribadi. Satu sisi aku berhak menegur Arin yang sudah berubah jauh, sisi lain aku juga harus berada di garis privacy. Aku dan Arin sama-sama pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang-orang dari kehidupan Barat yang notabene sangat menjunjung tinggi kehidupan pribadi perindividu. Aku dan Arin jadi semakin jauh saat gerak-geriknya tidak dapat lagi kuterka.

Arin mengajak kami berfoto. Gaya dan tawa membahana saat kami melihat hasil yang tidak sesuai keinginan. Tak sungkan pula Arin meminta laki-laki yang lewat di depan kami untuk membidik tingkah polah kami menghadap ke lautan lepas. Cara Arin bertegur sapa dengan laki-laki pun kurasa sudah dibatas kewajaran. Arin sudah lebih genit, centil dan berjabat tangan dengan laki-laki. Hal yang tidak pernah bahkan ditentang Arin sebelum ke Australia. Kami melihat pemandangan yang tak biasa itu dengan tatapan nanar, Arin bahkan tidak merasa ada yang salah dalam dirinya.

Lalu Tutun, perempuan ini termasuk golongan amburadul dalam kelompok kami. Selama aku mengenalinya baru sekarang aku melihat Tutun berpakaian sesuai perubahan masa. Tutun memang tidak pernah menuruti dunia kecantikan dan keindahan seperti halnya pada perempuan kebanyakan. Penampilan Tutun tidak pernah enak kulihat semenjak awal perkuliahan kami. Tutun selalu tak berbedak, apalagi mengecat bibirnya yang pucat. Baju dan rok yang terkadang perang warna ditambah lagi dengan kerudung yang miring kiri kanan.

Aku merasa senang mendapati Tutun yang sekarang sudah memiliki fashion tersendiri. Wajahnya sudah ber­make­-up tebal dengan bibir merekah. Tidak menor dan tidak pula pucat. Pas untuk takaran warna kulit Tutun yang lebih gelap di antara kami. Pakaian Tutun pun sudah sangat modis. Tutun memang bukan perempuan yang pakai celana ketat, dari dulu aku pernah melihat Tutun pakai celana, seperti hari ini, celana kain besar mengecil ke bawah yang tak melekat di pahanya berwarna abu-abu, dipadu dengan baju lengan panjang dimasukkan ke dalam dengan motif bunga-bunga kecil warna putih, lalu kerudung warna putih dibuat lebih kreatif bagai model artis di televisi. Tutun benar-benar sudah menjadi bidadari di antara kami dengan tinggi badan di atas kami semua.

Si pendiam Erni sekarang lebih banyak bersuara. Erni termasuk perempuan yang tidak pernah membuang kata-katanya. Bicara apa adanya. Selera humor Erni pun tidak pernah ada semenjak kukenal dia. Erni yang dulu hanya bicara dengan buku-buku sekarang malah lebih semarak dibandingkan kami. Erni yang dulu tak pernah tertawa lepas sekarang malah lebih ceria dari pada kami. Erni yang dulu hanya diam dalam diskusi sekarang malah paling sering mengeluarkan pendapatnya.

Ketiga temanku banyak sekali mengalami perubahan. Dua tahun aku kuliah di Amerika, ditambah dua tahun kami tak saling berpeluk karena kesibukan masing-masing perubahannya sangat terasa. Kupikir dunia maya penuh penipuan, aku tidak pernah percaya saat Arin mengatakan pacarnya seorang laki-laki tinggi dengan postur tubuh gempal dari Belanda. Aku tidak pernah tahu Erni menjadi pembicara ulung di setiap seminar semenjak menjadi asisten dosen. Aku pun tidak pernah diskusi masalah tata busana maupun kecantikan dengan Tutun yang kini sangat paham betul semua perkara perawatan tubuh. Ketiga temanku ini benar-benar membuatku iri akan perubahan mereka. Yang lebih iri lagi, perubahan yang terjadi pada Kazol.

Tidak pernah terpikir olehku ratu kecantikan ini menjadi seorang perempuan yang menghebat suaranya. Sifat dasar Erni sudah diembat Kazol sampai ke akar-akarnya. Kazol yang biasanya lebih banyak bicara malah tips-tips biar tampil cantik dan modis sekarang malah menggangguk saja apa pun yang diutarakan Tutun. Wajah Kazol pun tidak semenor dulu dengan pakaian lebih sopan dibandingkan kami semua. Kazol mengenakan rok lebar, baju panjang selutut lalu kerudung sampai ke perut. Aku tidak menemukan lagi Kazol yang dulu pernah anti dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kecantikan khas perempuan. Aku juga tidak menemukan lagi peralatan make-up dalam tas samping Kazol. Sifat Kazol yang dulu sudah diambil Arin dan sifat Arin sudah dilahap Kazol sampai habis.

Orang-orang akan berubah sesuai takaran mau mereka. Aku pun berubah. Sejak dulu aku memang bukan perempuan yang seenaknya saja dengan penampilan. Aku selalu memperhatikan perpaduan antara baju, celana maupun kerudung. Aku juga perempuan yang memakai rok maupun celana. Pakaian yang kugunakan biasa-biasa saja. Tidak mengurasi batas aturan yang sudah ditetapkan negeri kami ini.

Hari ini aku memakai celana katun dengan warna hitam, celanaku hampir sama dengan Tutun, besar dibagian paha lantas mengecil ke bawah. Bajuku pun hampir sama dengan Tutun berwarna putih dengan motif bunga kecil-kecil melingkar di depan dan belakang, hanya saja model bajuku memiliki karet dipinggang jadi tidak perlu kumasukkan ke dalam celana. Dan kerudung kupilih warna mendekati hitam polos, kulilitkan ke leher dan menjuntai ke belakang tanpa kuapa-apakan di bagian atas.

Kami sudah selesai mengabadikan beberapa gaya di depan pantai yang semakin ramai. Sebentar lagi kami akan melihat sunset di balik gunung. Sambil menunggu matahari terbenam kami kembali duduk di saung yang masih tersisa kelapa muda.

“Aku masih belum percaya kamu udah menikah, Er!” kata Arin lebih dengan nada menyindir. Entah apa maksud Arin berkata begitu.

“Semua orang akan menikah lho, Rin!” ujar Erni tak kalah girangnya dibandingkan Arin. “Kamu juga harus menikah, punya suami itu berjuta rasanya,” lanjut Erni sambil melihat kami satu persatu. Kecuali Arin, kami memasang wajah antusias dan harap-harap cemas. Arin tampak tidak bersemangat membicarakan pernikahan, namun entah alasan apa Arin memulai masalah ini.

“Aku masih belum siap, Er!” kata Tutun sambil menggigit bibir bawah.

“Kenapa? Aku yang sudah menikah senang-senang saja, suamiku malah lebih mengerti aku dibanding diriku sendiri. Suami paham aku harus makan apa, kapan aku menyusui, kapan aku masak makanan enak, kapan aku istirahat, kapan aku membaca, kapan aku ngajar, semua sudah diatur suami dari mulai pagi sampai paginya lagi!” tegas Erni penuh semangat. Si pendiam Erni memang sudah terbenam. Mungkin ini salah satu faktor Erni menjadi lebih banyak bicara, karena bahagia, sudah bersuami. Aku makin iri dengan Erni yang mendapatkan suami pengertian dan tidak egois. Teman-teman yang lain pun merasakan hal yang sama, selain Arin yang tidak tertarik dengan tema pembicaraan kami yang sebenarnya Arin buka sendiri bagai moderator tanpa permintaan.

“Aku malah nggak laku-laku, Er!” nada putus asa Kazol membuat kami terdiam. Kulihat Erni mengenggang erat tangan Kazol.

Lihat selengkapnya