Mahar 25 Tahun

Bai Ruindra
Chapter #4

Pulang

Kutinggalkan Banda, kusimpan kenangan bersama teman-teman untuk kuceritakan kelak pada siapa yang mau mendengar. Angin malam menerpa wajahku yang terasa berat kubuang dari kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan utama. Banda sudah jadi kota besar, segala penjuru diterangi lampu milik negara. Mobil-mobil pribadi berjejer di lampu merah dengan berbagai merek. Mulai dari merek termurah sampai merek termahal sekali pun ada. Sudah kaya-kaya orang Aceh rupanya, sanggup membeli mobil dengan harga fantastis. Mobil yang membawaku ke Kampung Pesisir ini melewati warung kopi yang mulai dipenuhi pelanggan. Warung kopi masa kini yang harus berinternet gratis jika ingin menarik pelanggan. Tidak hanya laki-laki, perempuan pun terlihat duduk berkelompok di antara kerumuman laki-laki dengan smartphone bahkan laptop di depan mereka. Era sudah berubah jauh meninggalkan primitif. Warung kopi sudah menjadi langganan elit muda Banda untuk bernostalgia di dunia maya hanya dengan secangkir kopi lima ribu rupiah. Mungkin, sesekali aku bisa menikmati kopi sambil berselancar di dunia tanpa bersentuhan fisik jika suatu saat kembali ke Banda.

Mobil penumpang yang kutumpangi terus melaju meninggalkan hiruk-pikuk Banda. Aku perhatikan seisi mobil ini. Di samping sopir seorang bapak berumur lima puluhan tak hentinya berbicara dan membakar rokok putih. Di barisan kedua tampaknya suami istri dengan seorang anak belasan tahun. Berulang kali istrinya mengeluh asap rokok membuat dirinya tak bisa bernafas. Kupikir hanya aku saja yang terganggu dengan asap rokok itu. Suaminya diam saja, protes ke bapak tua itu bukan pilihan tetap karena itu sangat sensitif sekali. Bisa-bisa terjadi perdebatan panjang seperti yang sudah pernah kualami dulu.

Semasa kuliah sarjana, aku pernah menegur seorang laki-laki yang duduk di sampingku. Dengan perasaan tidak bersalah laki-laki itu terus mengganti puntung demi puntung rokok. Aku tidak tahu berapa bungkus rokok yang disiapkan laki-laki itu selama perjalanan. Berulang kali pula aku terbatuk-batuk karena asap rokoknya. Begitu kutegur untuk berhenti merokok, aku malah dicibir.

“Bagaimana Anda ini? Laki-laki itu harus merokok! Suami Anda nanti akan jadi perokok aktif salama hidupnya di dunia ini. Laki-laki yang tidak merokok bukan laki-laki namanya, laki-laki macho harus merokok!” dan berbagai alasan lain yang tidak bisa diterima akal sehatku. Suamiku harus merokok? Tentu saja aku tidak akan menikah dengannya. Laki-laki harus merokok? Bahkan banyak teman laki-lakiku di kampus tidak merokok. Pemikiran laki-laki itu sangat jauh tertinggal di kampung halamannya. Seharusnya laki-laki itu berinteraksi dengan banyak laki-laki di kota besar yang tidak pernah merokok.

Seandainya malam ini di sampingku duduk laki-laki yang sama entah di tahun berapa yang lewat itu, akan kukasih tahu padanya, teman-teman laki-lakiku di Amerika satu pun tidak merokok. Budaya memang beda, mereka memang pernah minum minuman beralkohol, mereka memang main perempuan, tapi tidak semua melakukan itu. Ada kaidah yang tidak bisa mereka langgar saat berhubungan dengan kesehatan, walau mereka tidak semua percaya akan adanya Tuhan.

Sayangnya, malam ini di sampingku seorang laki-laki muda yang putih bersih. Kurasa setiap perempuan akan tertarik padanya. Dan sayangnya lagi, barusan laki-laki itu menerima telepon dari seorang perempuan, tak lama tangisan seorang bayi. Hancur sudah harapan perempuan yang ingin berada di dekapnya karena laki-laki itu sudah beristri. Beruntung pula istrinya karena laki-laki itu tidak merokok. Sengaja kupalingkan wajah ke samping kananku, lelaki itu duduk di dekat jendela, di bagian tengah dibiarkan kosong dan diletakkan jaket warna abu-abu. Laki-laki itu memejamkan mata dan melipat kedua tangannya ke dada. Laki-laki itu paham benar akan sopan santun serta kesetiaaan. Bisa saja laki-laki itu duduk di kursi tengah, berdempetan denganku yang duduk di dekat pintu. Tidak akan ada yang tahu kelakuan laki-laki itu padaku saat semua terlelap di mobil terus berjalan menembus malam. Apalagi kami duduk di barisan ketiga, dan hanya kami berdua saja. Ah, lagi-lagi aku mendapatkan teman laki-laki yang menampakkan sifat gentlemen sebenarnya. Paling tidak, penilaianku bisa kupertahankan sampai malam semakin larut dan tidak ada seorang pun yang bicara selain deru mobil ini.

 Mobil yang kami tumpangi terus berjalan di antara pekat malam. Menaiki bukit, lalu memasuki kawasan pengunungan. Dalam hati aku memanjatkan doa-doa, rasa was-was menghampiriku yang pada dasarnya takut berkendara di malam hari. Tidak bisa kujelaskan kenapa aku memilih pulang malam ini, aku tidak mempunyai alasan apapun untuk menguatkan kepulanganku. Rasa takutku pada malam dan gunung berliku melupakan keberadaan laki-laki di sampingku. Dari depan masih terdengar dialog sopir dan laki-laki tua dengan rokok masih menyala. Di bagian tengah, suami istri serta anak mereka sudah terlelap dalam goyangan mobil. Mungkin hanya aku yang meraba-raba ketenangan di alam bawah sadar, kuamati laki-laki di sampingku juga memejamkan matanya.

Jalan terus menanjak, kami sudah memasuki kawasan Gunung Geurute. Salah satu gunung pembatas antara Aceh Besar dengan pantai Barat Selatan Aceh. Jika siang hari, orang-orang akan singgah di atas gunung ini. Terdapat beberapa warung yang menjurus ke lautan lepas. Menikmati lautan membiru sungguh pemandangan yang tiada tandingannya di atas gunung ini. Hanya karena malam, kami tidak menemukan apa-apa selain pekat.

Sopir memelankan mobilnya pada tikungan menanjak. Aku sedikit linglung. Kantuk dan perasaan tidak enak menjalar ke sekujur tubuhku. Firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi malam ini. Belum pula pikiranku tenang, di depan kami sebuah mobil putih terseok-seok mendaki gunung. Di bagian belakang mobil tertulis, jenazah.

Bulu kudukku merinding. Laki-laki di sampingku juga mengangkat wajahnya lalu kembali duduk seperti semula. Kurapatkan sweater biru muda ke tubuhku yang tiba-tiba sangat dingin. Mataku tidak berani lagi melihat keluar jendela, tatapanku ke dalam mobil dan ke jalan raya di depan yang diterangi lampu mobil kami.

Suasana benar-benar sangat hening. Laki-laki tua di samping sopir pun tidak mengeluarkan suaranya lagi, asap rokok pun tidak lagi mengepul sampai ke belakang. Sunyi seperti malam dikejutkan oleh suara klakson sebuah mobil di belakang kami. Semakin tidak diberi jalan, klakson itu bersahut-sahutan. Kudengar sopir mengeluh sendiri dan memberi jalan pada mobil di belakang kami yang ternyata juga mobil penumpang yang ugal-ugalan.

“Malam-malam ngebut di jalan!” ujar laki-laki tua itu emosi.

“Biasanya sopir baru,” kata sopir itu datar.

Lihat selengkapnya