Berkenalan dan jatuh cinta, lalu menjalin silaturrahmi dengan Anjas menjadi saat yang paling indah. Tiga tahun berjalan. Semakin mesra saja. Aku dan Mas Anjas sebenarnya sudah merasa cocok. Dan ingin melanjutkan hubungan sampai ke mahligai perkawinan. Bersama Mas Anjas, serasa membuatku berada di hamparan puspa ragam penjuru bunga. Love is sweetest thing.
Kesendirian yang sepi membuatku meraba-raba cinta dalam kebekuan bathinku. Kalau saja, dulu aku lebih mendengarkan kata hati, tetap memilihnya. Atau kalau saja dosen kawan ayahku itu tidak menggodaku. Dan menjerumuskan orang tuaku. Memaksaku menerima mahar cinta itu.
Ah, orangtua yang kolot. Yang tega menukar kebahagiaan anaknya dengan cincin “berlian.” Dan kalau saja waktu itu, aku lebih bernalar. Mungkin kini aku sudah menjadi istrinya. Beranak pinak, lucu-lucu.
Menjadi isteri, sekaligus teman berdiskusi, bercengkrama lalu bercinta, membangun keluarga sakinah. Mawaddah-mawarahmah. Mengerjakan sesuatu yang baru. Bukan hanya seorang anak tentunya.
Jadi memang bukan melulu soal seks dan anak. Karena itu menunjukkan stereotipikal tertentu yang cenderung statis, menempatkan kaum perempuan hanya pada wilayah dapur dan sumur, lalu kasur. Seperti kata dai sejuta umat, Zainuddin, MZ. Kesannya jadi bias jender. Seolah-olah kalau sudah nikah, perempuan itu jadi ibu rumahan saja. Ngurus anak, titik.