Kamila memelotot ketika mendengar perkataan mutlak yang dikeluarkan oleh Gabriel Tirtanara yang berstatus sebagai pemimpin di keluarga mereka. Papanya memiliki pengaruh besar yang mampu membuat anak-anaknya selalu menuruti perkataannya. Dan, kali ini, Gabriel mengatakan pernyataan yang membuat jantung Kamila terasa copot dari tempatnya.
“Astaghfirullah, Papa. Ini pernikahan, lho, Pa. Papa ngomongnya jangan sembarangan, dong. Kamila masih kuliah semester lima, masa mau dinikahin di usia yang semuda ini?” cerocos Kamila, dengan tangan yang bergetar ia meraih gelas berkaki tinggi dan meneguk oranye jus hingga tandas.
Saat papanya berkata dia akan segera dinikahkan, tenggorokan Kamila langsung terasa kering. Nafsu makannya tiba-tiba hilang.
“Justru ini adalah pernikahan, papa nggak mau kamu menikah dengan orang yang nggak tepat. Makanya papamu mau kamu menerima lamaran Raydan, dia laki-laki yang baik, Mila,” kata perempuan berusia awalan lima puluhan tahun itu. Meski telah berusia lima puluh tahun, figurnya tetap cantik dan tampak awet muda. Rambutnya berwarna cokelat kepirangpirangan, terkesan berani. Namun, di balik kesan keberanian itu, Belva memiliki kilat mata berwarna cokelat yang sangat indah dan lembut. Kulitnya sedikit lebih gelap dari kulit Gabriel yang sangat putih.
“Jadi menurut Papa Raydan itu baik?” Kamila menatap mamanya, lalu menatap papanya, lalu menatap mamanya lagi. “Aku baru beberapa kali bertemu dia dan aku belum melihat sisi baiknya, kecuali penampilannya yang terlihat religius itu dan nggak mau duduk bersisian sama aku.” Napas Kamila tersengal-sengal, mati-matian ia menahan umpatan. Ia tahu mengelak dari keputusan dan aturan papanya adalah hal yang percuma, tetapi membayangkan dia akan menikah dengan seseorang yang tidak dikenalnya dengan baik membuat Kamila merasa ngeri sendiri.