Astagfirullah .... Aku tak tahu kenapa bayangan mata Zainab selalu hadir dalam pikiranku. Sudah beberapa hari ini aku berusaha menghilangkan bayangan itu, tapi masih saja mengganggu pikiranku.
Ya Allah ... jangan biarkan hamba larut memikirkan wanita yang bukan mahramku. Aku tak ingin terus memikirkannya. Jauhkan dia dari pikiranku, ya Allah.
"Bang Hamzah!"
Aku tersentak, lalu menatap ke sumber suara. Kulihat Salwa berdiri di seberang meja depanku. Ya. Aku sekarang berada di teras rumah Salwa untuk menemui Ali, tapi dua orang pemilik rumah tak ada di tempat.
"Abang mikirin apa sampai Salwa panggil-panggil nggak nyahut? Apa ada masalah? Masalah pondok? Jodoh?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum tipis. "Enggak, Wa," elakku.
"Yakin?" Dia menatapku tak percaya.
"Iya." Aku membalasnya singkat.
"Apa Abang lagi mikirin calon?" tebaknya.
Aku kembali tersenyum. "Kalau sudah tiba waktunya, Allah pasti datangkan calon buat Abang. Abang enggak khawatir masalah calon." Aku membalasnya.
"Tapi Abang juga harus ikhtiar. Jadi benar kan, kalau Abang lagi mikirin calon?" Dia masih saja kukuh.
"Iya, calon santri." Aku pun kukuh.
"Ikh! Salwa nanya serius, Bang," gerutunya.
Pandanganku tertuju pada Ustadz Reza yang sedang berbicara dengan seseorang. Beliau dekat dengan keluarga Zainab, tentu beliau tahu mengenai Zainab. Apa aku tanya dengan beliau masalah Zainab? Aku mau tanya apa pada beliau masalah Zainab?
"Tuh, kan, Abang ngelamun lagi!" Salwa kembali membuyarkan pikiranku dengan suaranya yang terdengar kesal.
"Abang ke pondok dulu, nanti bilang sama Ali kalau Abang cari dia." Aku beranjak dari tempat duduk.
Aku memang mencari Ali. Aku menemuinya di klinik tapi tak ada. Kukira ada di rumah, tapi di rumah pun tidak ada. Mungkin dia sedang ada tugas di rumah sakit. Aku segera memasuki pondok untuk mengejar Ustadz Reza.
"Ustadz Reza!" seruku pada Ustadz Reza.
Beliau menghentikan langkah ketika mendengar seruanku. Dia membalikkan tubuh. "Iya, Ustadz Hamzah?" sahutnya.
Aku tersenyum. "Ada yang ingin saya tanyakan pada Ustadz. Bisa kita ke ruangan saya sebentar?" ajakku.
"Bisa, Ustadz. Mari." Dia mengangguk.
Aku pun berjalan menuju ruanganku diikuti Ustadz Reza. Ustadz Reza adalah sepupu dari abahnya Zainab. Mungkin aku akan menanyainya masalah Zainab, apakah Zainab sudah memiliki calon atau belum.
"Ustadz Hamzah mau nanya apa?" tanya Ustadz Reza setelah kami tiba di ruanganku, dan duduk di sofa yang ada di ruangan ini.
Aku menghela napas dan membuangnya perlahan. "Ustadz tau Zainab, putrinya Abah Bahar?" tanyaku ragu.
"Kenal atuh. Zainab teh sepupu saya. Ada apa, Ustadz?" tanyanya.
Aku tersenyum ragu. Ustadz Reza pun menatapku bingung.
"Dia mondok di mana?" tanyaku basa-basi.
"Mondok di Bogor. Tapi kemarin baru saja keluar karena Zainab mau menikah minggu depan sama Kang Zainal dari Bogor. Kenapa, Ustadz?" Ustadz Reza menjelaskan sedikit tentang Zainab.
Entah kenapa hatiku merasa kecewa ketika mendengar Zainab sudah memiliki calon bahkan tak lama lagi ia akan menikah. Mungkin dia bukan jodohku. Aku tak perlu kembali meneruskan pertanyaan tentang Zainab karena sedikit info dari Ustadz Reza pun sudah cukup memberikan ketegasan padaku agar tidak terlalu jauh mengetahui tentangnya.
"Ustadz?" Ustadz Reza membuyarkan pikiranku.
Aku kembali tersenyum. "Cuma nanya saja karena kemarin sempat ketemu waktu nengokin Ziyad di rumah sakit."
"Oh." Ustadz Reza hanya mengangguk.
"Bagaimana keadaan Ziyad? Apa sudah membaik?" tanyaku mengalihkan topik.
"Alhamdulillah, sudah rawat jalan, tinggal pemulihan saja. Semoga saja cepat pulih dan mulai belajar lagi." Ustadz Reza menambahi.