Aku memutuskan menerima perjodohan dari orang tua Sofia. Aku memang belum melihat Sofia, tapi aku tak ingin lama-lama menggantungkan jawaban untuk perjodohan ini. Aku memang belum mendapat jawaban dari istikarahku, tapi aku yakin, jika Sofia jodohku, maka Allah akan memberikan jawaban seiring berjalannya waktu. Aku tidak ingin mengecewakan Pak Baban dan menggantung harapannya. Abi menyerahkan semua ini padaku karena aku yang akan menjalaninya. Beliau tidak memaksaku untuk menerima semua ini, tapi aku yang memantapkan hati untuk menerima perjodohan ini. Aku hanya minta doa dari Umi dan Abi semoga Allah memberi petunjuk untuk perjodohan ini. Masalah jodoh yang sempurna, manusia di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah, Tuhan Semesta Alam. Aku akan menerima Sofia dengan segala kekurangannya.
Aku sudah berada di Jakarta sejak kemarin. Cukup satu pekan untukku menggantungkan jawaban. Hari ini, aku, Abi dan Umi akan ke rumah Pak Baban untuk memberikan jawaban. Aku tak ingin membuat orang lain terlalu lama menunggu jawaban dariku. Semoga Allah memudahkan segala urusan ini. Jika Sofia jodohku, semoga semua ini berjalan lancar. Jika dia bukan jodohku, semoga di antara keluargaku dan keluarga Sofia tidak ada yang merasa kecewa.
"Apa nggak terlalu cepat, Ham? Baru seminggu loh, Ham. Apa nggak mau pikir-pikir lagi? Ini masalah masa depanmu? Masalah wanita yang akan jadi istrimu."
Aku menoleh ke arah Umi. "Buat apa nunda-nunda hal baik, Mi? Niat Pak Baban kan baik. Hamzah nggak mau nunda-nunda hal baik, Mi. Lagian, Umi sama Abi sudah kenal dekat sama keluarganya Sofia, jadi Hamzah rasa semua ini sudah rencana Allah." Aku membalas Umi.
Apa Umi khawatir dengan masa depanku? Kudengar dari cerita Umi kalau anak-anak Pak Baban semuanya sarjana, termasuk Sofia. Umi khawatir jika aku menikah dengan Sofia nanti dia akan sibuk dengan bisnis yang sedang ia geluti.
"Barangkali Hamzah sudah nggak sabar ingin menyusul Abang-abangnya." Abi menyambar sambil duduk di samping Umi.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Abi karena perkataan Abi terdapat kebenaran. Lebih tepatnya tidak ingin membuang waktu.
"Umi rasa nggak. Anak-anak Umi, insya Allah tidak seperti itu." Umi menimpali.
"Doakan saja, semoga Allah meridhoi semua ini." Aku tersenyum pada Umi.
"Aamiin." Abi dan Umi terdengar kompak.
"Jadi kita sekarang ke sana?" tanya Umi.
"Lebih baik sekarang, Mi, mumpung hari libur. Tadi Abi sudah hubungi Pak Baban kalau kita mau ke sana. Beliau terdengar senang saat mengetahui kalau kita mau ke sana." Abi menyahuti.
"Ya sudah, kita berangkat sekarang. Abi sudah siap kan?" Umi menatap Abi.
"Sudah." Abi mengangguk.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku ketika Umi dan Abi beranjak dari tempat duduknya. Semoga Allah memudahkan segala urusan ini. Semoga ini pilihan yang tepat untukku.
30 menit, kami tiba di rumah Pak Baban. Kami disambut hangat oleh beliau dan istrinya. Ketika pertama kali melihat bangunan rumah Pak Baban, aku tertegun. Beliau benar-benar orang berada. Isi rumah beliau pun semakin membuatku risau.
"Apa kabar, Nak Hamzah?" sapa Pak Baban sambil mengulurkan tangan padaku.
Aku segera menatap beliau, lalu menjabat tangan beliau dan mencium punggung tangannya. "Alhamdulillah, Hamzah sehat, Pak." Aku tersenyum.
Tatapanku beralih pada istri beliau. Aku pun tersenyum ramah padanya. Kemudian kami masuk bersama beliau serta istrinya. Aku, Abi dan Umi duduk di sofa ruang tamu.
"Ayo di minum. Semuanya sudah kami siapkan. Saya bahagia ketika mendapat kabar jika kalian akan kemari, jadi kami sudah siapkan semuanya sejak tadi." Pak Baban terlihat bahagia dengan kedatangan kami.
Meja ruang tamu penuh berisi makanan dan minuman. Aku merasa tak enak hati dengan jamuan dari Pak Baban. Aku pun hanya meminum sedikit sambil menyimak obrolan Abi dan Pak Baban.
Sofi adalah anak ketiga dan dia anak bungsu. Dia berusia 22 tahun. Kakak-kakaknya sudah menikah, tinggal dia yang belum. Yang pertama perempuan, dia ikut suaminya di Malaysia. Yang kedua laki-laki, dia tinggal di Kalimantan. Aku mendengarnya sekilas dari obrolan Abi dan Pak Baban.
Perhatianku teralih ketika kudengar langkah sepatu menggema di ruangan ini. Langkahnya semakin mendekat. Aku tak berani menatap sosok yang kini berjalan melewatiku.
"Fiii ..." ucap Bu Anggi, ibunya Sofia.