Aku terbagun karena suara adzan dari ponselku. Sudah dzuhur ternyata. Badanku lebih segar setelah minum obat itu. Aku meraba perutku, tidak terlalu sakit sekarang. Alhamdulillah .. aku mencoba untuk menurunkan kakiku ke lantai.
“Ash!”
Nyeri itu mulai menyerang. Tapi tak apa, aku bisa menahannya. Ini jauh lebih baik daripada tadi. Aku berjalan ke toilet untuk wudhu. Dan kemudian sholat dengan cara duduk karena perutku yang masih sakit jika berdiri.
Setelah selesai, aku tak tahu harus berbuat apa. Bosan sekali rasanya. Aerin tidak kunjung datang ke kamar. Tidak ada yang mengecek keadaanku sama sekali. Hah! Sebenarnya aku ingin sekali pergi dari tempat ini. Sudah kukatakan berkali-kali bukan? Mungkin kesempatan bagus saat ini karena sedari tadi sepi sekali. Aku modar mandir di dalam kamar sembari menimang-nimang apa harus aku—kabur sekarang?
Tapi kalau ketahuan gimana? Kamarku saja disadap berarti ini juga dilengkapi kamera tersembunyi. Setidaknya begitu yang ditayangakan di film. Jikalau sudah begini, aku harus pandai mengelabui titik buta jangkauannya. Aha! Cerdas sekali kau Raidilla. Sayang sekali kamu tidak tahu dimana kamera itu disimpan!
Pusing dengan keruwetan pikiranku, akhirnya aku membuka pintu kamar dan berniat jalan-jalan menghilangkan kebosanan. Aku takjub melihat ruangannya kira-kira ya ... seperti rumah-rumah mewah di film. Bahkan ini lebih bagus karena aku bisa melihat dan merasakannya sendiri. Ruangannya luas, ruangan itu sepertinya ruang tamu dan menyatu dengan dapur yang luas juga. Aku melirik pada tangga di dekat dapur. Rasa penasaranku semakin tinggi. Tapi aku takut laki-laki itu melihatku berkeliling seperti ini tanpa seizinnya. Mengingat tadi saja dia memarahiku karena berteriak.
Sudah dipastikan dia mengawasiku, pastinya. Tapi … kalau dipikir-pikir aku sudah keluar dari kamar dan berada diruangan ini … pasti ada kamera tersembunyi dan dia pasti melihatku … tapi tidak ada yang menegurku seperti tadi.
Itu artinya …
Mungkin saja dia sedang lengah!
Aha! Lanjuuuttttt …
Aku naik ke lantai atas. Dan aku semakin takjub tak kala dinding rumahnya kaca semua. Sehingga aku dapat melihat keluar, ada taman yang begitu indah. Tanah luas yang dipenuhi ilalang pun dapat terlihat dari sini padahal tamannya sangat luas dan pagarnya tinggi. Sungguh luar biasa! Aku mengedarkan pandangan ke arah lain.
Lalu mataku tertuju pada sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Sebenarnya aku tidak niat mengintip atau berbuat tidak sopan. Ini murni karena sifatku yang ingin tahu ditambah situasi yang aku alami.
Jadinya aku memasukinya. Awalnya biasa-biasa saja. Aku melihat sebuah kamar tidur lengkap dengan segala fasilitas yang belum pernah aku punya. Seperti televisi super tipis dan lebar, kamar mandi di dalam, ruang kerja di dalam, kasur yang besar dan … lemari yang terbuka.
Maksudku lemarinya terbuka. Sehingga aku melihat beberapa pakaian yang tergantung. Ah, aku juga melihat sebuah kotak yang tergeletak begitu saja dan isinya berantakan di lantai. Otomatis jiwa keingintahuanku mendorong aku untuk melihatnya.
Aku melihatnya.
Melihat semuanya.
Seketika itu, tubuhku bergetar hebat. Aku tidak percaya atas apa yang aku lihat. Sangat tidak percaya …
“APA YANG KAMU LAKUKAN, HAH?!”
Bentakan itu seperti petir yang menyambar. Aku takut. Tapi bukan karena kepergok masuk sembarangan tapi takut—takut karena—dia.
“JANGAN MENDEKAT!!” teriakku. Tampakknya suaraku begitu tinggi. Sehingga laki-laki itu terkesiap juga. Hanya saja, dia pandai mengendalikan air muka.
“Jangan mas—“
“Siapa kamu?”
Selaku dengan nada yang tercekat. Aku menatapnya nanar. Masih tak percaya atas apa yang aku lihat. Sungguh penilaianku salah terhadapnya. Aku terancam. Sangat terancam.
Dia menghembuskan nafas kasar, “Kamu tidak perlu tahu.”