Maharesi

Mirna Devi
Chapter #4

Chapter 4

Mataku bersitatap dengannya tak kala aku keluar dari kamar. Nampaknya dia akan pergi bersama—uh orang baru kah? Aerin ada disana bersama mereka. Ada dua buah tas hitam besar yang dijinjing oleh orang baru itu.

“Jangan gegabah, Tuan Muda! Kalau tidak memungkinkan, ya pulang saja. Jangan sok jagoan.” Ucap Aerin yang membuat tatapannya beralih dariku. Tak lama, orang baru itu menyadari keberadaanku.

“Oh itu orang yang menyebabkan aku lembur beberapa hari ini?” ucapnya sedangkan aku tidak mengerti apa maksudnya. “Padahal kamu sudah sehari disini, tapi aku belum menyapamu. Apa kabarmu Nona manis?”

Aerin tampak tak suka dengan ucapan kakaknya itu. “Jaga kelakuanmu itu, Kak. Dia wanita terhormat tidak seperti mantan-mantanmu yang pecicilan.” 

Apa yang barusan Aerin bilang? Kak? Pantas saja wajahnya mirip. Yang satu cantik, yang satu ganteng. Eh.

“Jahat sekali kata-katamu itu. Nanti kalau aku tidak ada, baru tahu rasa.”

“Dunia ini lebih baik kalau kamu tidak ada.”

“Begitukah?”

“IYA!”

“Cepat, Arey! Kau ingin aku memotong upahmu?” sergah Tuan Muda menyebalkan itu.

“Oke .. oke… BYE!” ucapnya pada adiknya.

“Pergi sana! Awas saja kalau tidak selamat!”

Pintu itu tertutup. Tinggal Aerin dan aku saja—ah tidak masih ada beberapa pengawal yang tak sengaja aku lihat ketika pintu itu terbuka. Entah kenapa aku merasa kesal karena tidak ada yang mengucapkan perpisahan denganku. Bukankah aku juga penghuni rumah ini? Ya … walaupun secara tidak sengaja harus terlibat?

Ahahahaha … memangnya kamu siapa Raidilla? Kamu pun tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Tidak diberi tahu lebih tepatnya.

“Mau bermain denganku?” tawar Aerin. 

Aku hanya memandangnya sekilas. Ingat, aku masih marah dengan mereka. Jadi ya … aku sok jual mahal gitu. Aerin berdecak saat aku malah berbalik lagi ke pintu kamar.

 “Ayolah … kamu masih marah? Bukan aku tidak mau memberitahumu. Aish … ini sangat rumit! Aku juga masih tidak percaya ada orang seperti itu! Hah … mengingatnya membuat aku sakit kepala,” rutuknya.

“Apa hubungannya dengan kamu?” itulah pertanyaanku.

“Hah? Apa? Dengan masalah Tuan Muda atau dengan Tuan Mudanya?”

“Semuanya.”

“Kamu belum paham juga kenapa kau memanggil dia dengan sebutan Tuan Muda?”

Ia malah berbalik bertanya. Seketika aku merasa bodoh telah menanyakan hal tersebut. Benar juga, kenapa aku tidak bisa menebak padahal jelas-jelas dia sering menyebutnya Tuan Muda. Dia pasti bawahannya. Ah … Rai ... kamu bodoh.

“Ah … lupakan. Kamu mau main denganku? Dijamin bakal seru!” ucapnya antusias. Dia mendekati meja yang berada di samping televisi. Ia membukanya. Dan kalian tahu apa yang ada di situ? Senjata. 

Ya … sebuah pistol. Kemudian dia bergerak ke sebuah sofa. Dia malah menendangnya.

BUK!

Karena tendangan itu, terlihat sebuah guratan membentuk sebuah kotak. Aerin memasukkan tangannya ke bawah sofa kemudian terdengar suara clek! Dan guaran kotak itu terbuka. Aerin membukanya dan sebuah senapan berhasil dia peroleh.

Daebak!

Ini rumah apa gudang senjata? 

Tak terduga, Aerin menodongkan senapannya padaku. Aku terkesiap.

“Tidak buruk. Walau ini sangat ketinggalan zaman sekali.”

Huh … perempuan itu … cantik tapi menyeramkan. Apa dia juga pandai membunuh? Pertanyaan itu terlintas saja dipikiranku.

“Kamu … akan berdiri terus disana? Ayo … akan kuajari kamu cara menembak. Tenang … aku ahlinya kamu jangan takut.”

Aku hanya segera masuk ke kamar dan mengunci pintu. Apa dia sudah tidak waras? Mengajari menembak? Hah .. aku tidak percaya! Bukan mengajari tapi aku yang jadi sasaran! 

Disituasi seperti ini aku memang tidak boleh mudah percaya bukan? Harus pandai juga dalam hal menghindar. Intinya jantungku masih berdegup kencang tak kala mengetahui Aerin yang pandai menemukan senjata dan tadi dia—menodongkannya padaku?

Ya Allah … Aku ingin pulang!

****

Sore itu hujan. Aku menatap jendela yang aku buka lebar-lebar. Anginnya berhembus masuk dengan percikan air hujan yang terbawa. Percikan air hujan itu menerpa wajahku. Ah … senang sekali rasanya. Dan akan lebih senang jika aku bisa keluar dan langsung dapat mengecap air hujan. Sudah lama rasanya aku tidak kehujanan. Jadi rindu saat kehujanan di motor. Lebih rindu lagi aku makan mie rebus saat hujan begini.

Tapi bisa apa aku sekarang?

Bahkan untuk keluar kamar pun aku takut. Ya ... benar aku lebih baik di dalam kamar saja. Aku membuka mata tak kala tak ada percikan air hujan yang menerpa wajahku lagi. Kututup jendelanya. Lama-lama disini bosan sekali rasanya.

Aku mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Kamar ini memang lebih baik dari kamarku dirumah. Tapi kamarku disana terasa lebih baik dan aman bagiku.

Ah, manusia terkadang suka lupa bersyukur. Saat kehilangannya, baru berasa betapa berharganya. 

Berbicara soal ruangan ini jadi ingat bagaimana Aerin menemukan senjata di tempat-tempat tak terduga. Senjata itu disimpan di tempat yang tidak pernah kamu pikirkan. Apa … disini juga ada?

Oleh Karena itu, aku malah mengecek beberapa tempat, barang kali aja ada senjata? Aku mengecek lemari, meja, sofa, bahkan lukisan yang ada. Kali aja ada jalan rahasia yang seperti di ruangan Pak Dokter Tua itu.

Nihil.

Aku tidak menemukan apapun.

Akhirnya aku kembali berbaring. Ah, sangat tidak enak jika hanya menghabiskan waktu dikasur. Biasanya sore-sore begini aku masih sibuk dengan dokumen-dokumen di kantor. Berharap jam kerja cepat habis dan aku bisa tidur sepuasnya. Ah, hari ini aku bahkan menghabiskan sepanjang hari dengan rebahan.

Lihat selengkapnya