Disinilah aku. Diatas atap rumah yang ternayata ada tempat untuk mendarat helikopter. Ah, seperti yang pernah Aerin bilang, aku jadi terpikir seberapa kayanya dia. Dan kenapa dia terus mengejar pengakuan jika uangnya sudah banyak?
“Paham?” tanyanya.
“Aku ingin berta—“
“Aku bertanya kamu paham atau tidak. Bukan kamu ingin bertanya atau tidak.”
Aku mencebik. Dasar Tuan Muda ini … suka sekali membuat skak mat orang lain.
“Aku tidak ingin kamu bertanya apapun. Cukup lakukan sesuai apa yang aku ucapkan tadi.”
“Baik, Tuan Muda,” ucapku seraya menurunkan kepalaku. Niatnya menyindir bukan hormat. Hahaha .. konyol sekali jika aku hormat padanya.
“Kalau paham, coba ulangi apa saja yang kamu harus lakukan.”
Aku menatapnya malas, “Setelah naik helikopter yang akan datang 15 menit lagi aku akan diantarkan ke rumah sakit lalu temui Dokter Erick dan bilang kalau aku tamumu. Maka dia akan mengurus segala sesuatunya untukku. Kemudian katakan pada orang tuaku bahwa aku harus mengikuti kunjungan kerja bosku ke Kalimantan dan katakan ke tempat kerja kalau aku sakit kemudian harus berkunjung ke tempat nenek. Jikalau mereka bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi maka jawab sinyalnya jelek.”
Dia menganggak-angguk. “Bagaimana kamu tahu kalau di rumah nenekku memang susah sinyal?”
“Hanya menebak saja.”
“Bohong. Kamu tahu segalanya tentang diriku.”
“Kalau sudah tahu kenapa kamu bertanya?”
“Ini tidak adil. Kamu tahu segalanya tentang diriku. Aku tidak tahu apapun tentang dirimu, Tuan Muda Maharesi.”
“Maharesi? Lupakan nama itu.”
“Kenapa? Setidaknya aku harus ingat salah satu namamu.”
“Kenapa kamu ingin mengingatnya?”
“Aku pun tidak tahu. Rasa-rasanya aku harus mengingat saja salah satu namamu.”
“Walaupun aku tahu segalanya tentang dirimu. Aku akan segera melupakannya, maka pada akhirnya sama seperti dirimu yang tidak tahu apa-apa tentang diriku.”
“Kenapa kamu ingin melupakanku?”
Ia mengedikkan bahu. “Feeling saja.”