Tubuhku bergoyang karena helikopter itu yang beberbalik arah sekaligus. Jantungku berdegup kencang. Aerin bahkan segera ke arah kemudi dan menggantikannya. Aku shock tak kala helikopter sedikit oleng karena Aerin merebut paksa kemudi.
“Ah!”
BUK!
Aku terbentur karena ulah Aerin. Tapi sepertinya ia tak perduli. Pilot yang ditendang ke arah belakangpun hanya dapat meringis. Aku mendekati Aerin.
“Ada apa ini, Aerin?”
“Jangan banyak tanya. Pegangan yang kuat jika kamu ingin selamat.” Dia menjawabku dengan dingin. Matanya merah menahan amarah. Sesaat aku melihatnya menitikkan air mata. Jantungku kembali berdebar … apa ini artinya—mereka dalam keadaan bahaya?
Dikejauhan—aku melihat nyala api yang besar. Api itu berasal dari rumahnya yang terbakar. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Padahal baru sebentar kami pergi … rumah itu habis terbakar .. asap yang membumbung tinggi. Dan tak lama … suara tembakan menyerang helikopter.
“Baj*ngan!”
Umpat Aerin. Ia berusaha menghindari tembakan yang mengarah pada kami. Aku dan pilot itu berusaha dapat menjaga posisi tubuh kami supaya tidak tertembak. Aku menatap nanar rumah itu –apa jangan-jangan mereka—terjebak?
Tidak!
Plung!
Ia melemparkan sebuah pistol panjang ke pilot itu. “Habisi mereka!”
Baku tembak pun semakin tak terelakkan. Aku meraih ponselku, berniat ingin meminta bantuan polisi. Entahlah walaupun aku tidak tahu ini dimana, rasa-rasanya ini tidak jauh dari rumahku. Mungkin. aku harus mencoba menelepon polisi.
“Tolong kami pak—“
Puk!
Aerin malah melempari walkie-talkie kepadaku. Aku yang kaget tak sengaja menjatuhkan ponselku. Ia berbalik dan terlihat sangat marah padaku.
“Jangan bodoh!”
“Kenapa? Kita tidak bisa menanggulanginya sendiri!”
“AKU BILANG JANGAN YA JANGAN!” Dia membentaku. Rasanya sakit sekali sampai ke hati.
Aku merapatkan bibirku. Menatap nanar rumah yang terbakar. Entah mereka selamat atau tidak—atau mereka sedang berjuang untuk keluar. Aku hanya bisa merintih dalam hati. Sayangnya aku tidak bisa melakukan apapun selain melihatnya.
“Kakak …,” lirih Aerin yang membuatku menatap ke arah yang sama.
Aku melihat sebuah mobil yang menerobos keluar dari kobaran api. Sedikit kelegaan menghampri. Tetnyata mereka baik-baik saja. Kemudian sebuah suara muncul dari walkie-talkie Aerin …
“Teh pahit!”
Apa?
Aku tidak salah dengar 'kan?
“Laksanakan, Tuan Muda!”
******
Aku tidak menaiki helikopter lagi. Kini aku dan Aerin mengendarai sebuah mobil. Aerin nampaknya tidak ingin berbicara kepadaku. Ia sibuk menginjak pedal gas. Aku pun terlalu sungkan untuk berkata-kata.
Aerin yang ramah berubah 180 derajat. Ia nampak serius dan tidak mau diganggu macam-macam. Malam semakin gelap bahkan mungkin sebentar lagi ini subuh. Tapi perjalanan ini tak kunjung selesai. Entah kemana lagi aku akan singgah. Mengenai teh pahit tadi .. aku jadi penasaran apakah itu sebuah kode?
Oke skip. Bukan waktunya.
Sebuah rumah yang sederhana yang aku lihat dikejauhan ternyata menjadi tujuan Aerin. Dia langsung keluar aku pun begitu. Tapi Aerin malah masuk lagi kedalam mobil dan memencet klason dengan keras sebanyak 3 kali. Setelah itu, penghuni rumah itu keluar.
Aerin keluar dan menghampiri mereka. Entah apa yang dibicarakannya. Dua orang yang muncul lagi di didalam rumah segera membawa barang-barang yang kami bawa ke dalam rumah. Ibu pemilik rumah menghampiriku dan menyuruhku masuk.
Di dalam Aerin sibuk memakai segala perlengkapannya. Ia memasukkan beberapa peluru ke senjatanya dan membenahi rompi anti peluru. Dia siap berperang sepertinya. Ia menghampiriku.
“Dengarkan aku baik-baik.”
Aku menatapnya. “Kamu akan tetap pulang. Tunggu disini sampai ada yang menjemputmu. Jangan tanya apapun!” sergahnya saat aku hendak membuka mulut.
Dia menyingsingkan tangannya, terlihat sebuah gelang melingkar di tangan putihnya. “Lihat baik-baik gelang ini. Yang menjemputmu akan menggunakkan gelang ini. Kamu harus mengeceknya terlebih dulu.” Ia menyodorkan sebuah kotak kecil kepadaku.
“Apa ini?”
“Aku tidak tahu akan terjadi apa jika aku pergi. Walaupun dia mewanti-wanti untuk tetap melindungimu. Maaf, aku tidak bisa. Mereka sedang dalam bahaya. Aku yakin Tuhanmu akan melindungimu. Kamu orang baik. Maaf karena tadi aku tidak memperlakukanmu dengan baik. Pergunakan ini jika terjadi sesuatu. Kupikir ini lebih baik daripada aku memberimu sebuah pistol.”
Setelah itu Aerin pergi tanpa menoleh kembali. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin jauh. Aerin … semoga kamu selamat.
Ibu pemilik rumah menghampiriku. Ia membawakan secangkir teh. “Ini diminum, rasanya pahit tapi sangat ampuh menghilangkan stress. Pasti harimu berat, 'kan?”
Aku hanya tersenyum kemudian meminum teh itu. Rasanya pahit sekali. Tapi setelahnya aku merasa baikan. Walupun jantungku tetap berdegup kecang dan pikiranku semrawut memirkikan segala hal.
“Tidurlah ... akan kubangunkan jika ada yang menjemputmu.”
“Terima kasih …,” ucapku.
Sebenarnya, aku tidak tahu harus berkata apalagi. Akhir-akhir ini terlalu banyak kejutan.
Aku masuk ke kamar. Kotak yang diberikan Aerin aku buka. Isinya ada 3 benda seperti jarum yang kecil. Jika aku menggegamnya, maka tidak akan terlihat seperti menggenggam sesuatu. Pikiranku tertuju bahwa ini adalah racun.