“Saya—tamu Tuan Muda. Ingin bertemu Dr. Erick.”
Ya. Aku berhasil datang kerumah sakit yang diperintahkan oleh laki-laki itu. Mengingat kejadian tadi … entahlah ... aku sangat merasa bersalah padanya. Orang yang mengantarku kesini, langsung pamit. Ia meminta maaf karena harus menyeretku. Katanya itu adalah perintah dari Tuan Muda.
Ck. Laki-laki itu benar-benar …
“Raidilla Anjani?”
Seseorang memanggilku. Aku menatapnya, apakah ini Dr. Erick itu? Mataku yang kabur oleh air mata tak sengaja melihat pin namanya. Benar. Dia Dr. Erick itu.
“Ikut saya,” ucapnya.
“Tunggu—”
“Kenapa?”
Aku tidak menjawab. Hanya menunjukkan jari manisku yang terpasang cincin dari laki-laki itu. Ekspresi Dr. Erick sangat terkejut ketika melihat cincin yang aku pakai. Ia segera memintaku mengikutinya.
Aku mengikutinya dengan lunglai. Pikiranku masih kalut dengan kejadian tadi. Bahkan langkahku terantuk-antuk karena air mataku yang tidak mau berhenti. Sekilas aku melihat beberapa orang yang berlalu lalang di rumah sakit ini menatapku. Aku tidak peduli.
Rasanya … hatiku sangat sakit.
“Perlihatkan cincin itu pada sensornya.”
Ucapnya. Aku sedikit ragu. Tapi akhirnya aku pun mendekatkan cincin itu ke sensornya. Sebuah layar kecil menampilkan kata ‘Ok’ dan brankas itu terbuka dengan sendirinya. Ada banyak berkas, Dr Erick langsung mengambilnya.
“Aku pastikan dia tidak akan lolos lagi, Tuan Muda.” Ucapnya penuh penekanan. Ia lalu berbalik ke arahku. “Terima kasih, Nona Rai. Mari kuantar ke kamarmu. Kurasa kamu sangat shock.”
“Tunggu, Dok.”
“Kenapa?”
“Tuan Muda … dia ….”
“Baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkannya. Akan aku urus semuanya.”
Aku teralu tak berdaya untuk menyanggahnya. Karena setelah itu aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Aku pingsan.
Sepertinya.
*********
Aku pulih dalam 2 hari. Dr. Ercik menyarankan untuk pulang. Maka aku pun pulang. Setelah itu aku tidak berurusan lagi dengan Tuan Muda. Aku tidak pernah tahu keberadaannya dimana. Semuanya seperti mimpi. Yang hanya menyisakkan rasa tapi tidak dengan wujudnya. Aku hanya kenal sebatas dipikiran dan perasaanku saja. Tapi tidak ada bukti bahwa aku memang pernah bertemu dengannya.
Tidak.
Aku ada bukti.
Cincinnya masih ada di aku.
Tapi siapa yang mau percaya?
Aku melakukannya sesuai apa yang dia perintahkan. Setelah dengan Dr. Erick selesai. Aku pulang dan mengatakan kepada keluargaku bahwa aku ikut kunjungan kerja. Untungnya mereka percaya. Janggal sekali sebenarnya setelah ditelusuri, ternyata ada yang mengirimi pemberitahuan resmi dari kantor. Ck. Padahal tidak ada satupun orang kantor yang melakukannya.
Dia cerdik sekali.
Aku pun mengatakan ke orang kantor bahwa aku sakit dan setelah itu harus mengunjungi rumah Nenek. Untungnya mereka percaya. Janggal sebenarnya setelah ditelusuri, ternyata ada orang yang memasukkan surat sakitku dan yang menelepon langsung ke atasanku perihal nenekku.
Dia cerdik sekali.
Satu tahun berlalu.
Tapi aku masih ingat bagaimana kejadian itu. Kejadian dimana aku bertemu dengan orang yang dipanggil Tuan Muda. Seperti mimpi memang. Aku hanya dapat menyimpannya sebagai kenangan. Pernah aku iseng mendatangi rumah sakit tempat Dr. Erick bekerja, tapi ternyata Dr. Erick itu sudah pindah ke Jerman.
Kunci satu-satunya untuk mengetahui keberadaannya, hilang. Pada akhirnya aku tidak lagi mencari tahu keberadaannya. Cukuplah aku simpan peristiwa itu sebagai pelajaran berharga bagiku. Aku hanya bisa mendoakan mereka agar selalu selamat. Dimanapun mereka berada.
“Tuh 'kan … kamu bengong lagi, Rai. Ayo makan sebelum jam istirahat habis,” tegur temanku. Aku segera menyantap makananku.
“Ngomong-ngomong Sabtu ini launching bukumu itu, 'kan? Kudengar kita bakalan rapat besar Sabtu ini.” Temanku mengingatkan.
“Aku tahu. Aku sudah izin. Untugnya si Bos mengerti.”
Temanku hanya mengangguk lalu kembali menyantap makanannya. Tak berapa lama temanku yag lain datang. “Merepotkan sekali dia. Tidak tahu waktu! Kerjaannya curhaaatttt mulu.”
“Jangan begitu. Saudaramu itu, “ ucapku.
“Masalahnya kenapa dia malah menelpoku dan curhat masalah persidangan yang katanya ricuh sekali. Aku mendengar kericuhannya tadi. Dia 'kan harusnya menangani? Dia malah menelponku dan curhat ... dipecat baru tahu rasa!”