“Permisi, bu doktor Hikmah. Saya Deka, bu. Saya ingin meminta maaf atas kesalahan saya tadi. Apakah masih memungkinkan saya memperbaiki kesalahan saya, bu?” Tanya Deka dengan nafas sedikit ngos-ngosan karena kurang mampu menyesuaikan langkah ibu Hikmah yang berjalan cepat.
“Maaf, dik. Catatan tadi tidak bisa dihapus lagi.” Jawab ibu Hikmah dengan nada yang lembut.
Deka amat menyesalkan kejadian yang membuatnya harus ditegur didepan teman-temannya. Terlebih, ini baru hari pertama. Seperti kata senior yang disampaikan sewaktu penerimaan mahasiswa baru lalu bahwa impresi pertama sangat menentukan bagaimana hari-hari berikutnya akan dilewati.
“Jelas tidak bisa diperbaiki lagi. Kecuali jika kamu bisa mengulang waktu, mungkin yang tadi bisa diperbaiki.” Lanjut bu Hikmah tanpa menghentikan langkahnya. Ia bahkan tidak memperlambat langkahnya.
Dosen kedua telah berada didalam kelas. Ia bahkan telah memulai penjelasannya tentang bahasa, budaya, dan sejarah.
“... Jadi, berdasarkan catatan sejarah, tangga nada dalam musik merupakan sebuah formula yang digunakan untuk menyembuhkan orang dengan masalah kejiwaan. Susunan tangga nada yang kalian kenal itu - do, re, mi, fa sol, la, si, do - pada awalnya dikenal dengan istilah ‘qanun’ atau yang sekarang kita kenal sebagai kanon.”
“Begini. Kamu masih punya potensi besar untuk lulus. Tidak ada nilai untuk matrikulasi. Yang hanya ada ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’. Untuk menebus kesalahan kamu tadi, cukup perbaiki sikap pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Yang tadi itu hanya peringatan saja. Jika kamu mau, kamu bahkan masih bisa membuat satu kesalahan lagi di kelas saya. Masih bisa lulus.” Lanjut bu Hikmah yang telah menggiring Deka lebih jauh dari kelas, teman-teman, serta dosen yang sudah mulai memperkenalkan mata kuliahnya.
“Kanon dalam musik merujuk kepada komposisi kontrapuntal yang terdiri dari melodi utama yang pemainnya disebut dengan istilah ‘dux’ dan melodi imitatif yang pemainnya dikenal dengan istilah ‘comes’. Tugas comes adalah mengiringi dux. Untuk ilustrasi sederhananya, comes itu rythm sementara dux itu lead-nya - bisa gitar atau alat musik lainnya.” Lanjut sang dosen dengan antusias.
“Baik, bu Hikmah. Terima kasih banyak atas penjelasannya. Saya izin pamit ke kelas, bu.” Ucap Deka.
“Qanun sendiri merupakan alat berdawai yang memiliki tangga nada. Kira-kira kalau sekarang itu mirip piano. Bedanya, kalau qanun alat petik atau dawai...”
“Permisi, pak. Izin masuk kelas. Jantung Deka kembali terpacu cepat setelah melihat pak dosen mendahuluinya masuk kelas. Deka merasa ia melakukan blunder lagi. Apes.
“Kamu dari mana?” Tanya pak dosen yang menghentikan penjelasannya karena interupsi Deka.
“Barusan saya berbicara dengan ibu Hikmah, pak. Dosen kelas pertama.” Jawab Deka.
“Baik, kita lanjutkan lagi. Jadi, pada awal dikenalnya ‘qanun’, orang dengan masalah kejiwaan disembuhkan dengan memperdengarkan kombinasi tangga nada tertentu yang membawa ketenangan, dikombinasikan dengan bunyi tetesan air serta aroma-aroma tertentu. Disini apa ada yang pernah mengalami perubahan perasaan secara tiba-tiba saat mendengar musik tertentu? Misalnya saat senang dan bahagia, Anda secara tidak sengaja mendengar alunan musik tertentu lalu perasaan Anda mendadak jadi sedih. Ada yang punya pengalaman seperti itu?” Tanya sang dosen kepada seluruh audiens. Deka masih berdiri didepan pintu.
“Seiring perkembangan zaman, musik turut dimasukkan dalam pementasan sastra. Tujuannya adalah agar audiens dapat lebih mudah meresapi makna dibalik apa yang dipentaskan. Musik mempertegas makna dibalik gerakan aktor. Musik juga membantu audiens dalam memaknai makna-makna tak terujar. Sampai disini paham?”
Mendengar penjelasan itu, sebagian kecil mahasiswa terdiam pura-pura mengerti. Sebagian besar lainnya menjadi semakin antusias - terselimuti aura sang dosen. Mereka merasa mendapat pengetahuan baru hari ini. Tidak satupun mahasiswa kelas Sastra A yang menghiraukan sosok yang berdiri didepan pintu. Mereka mau main aman. Mereka tidak mau mengikuti jejak Deka yang blunder dua kali.
“Kamu mau terus berdiri disitu atau mau masuk kelas?” Tanya sang dosen.
“Jika diizinkan, saya ingin masuk, pak.”
“Kalau mau masuk, kenapa dari tadi kamu diam saja disitu?”
Model pelaksanaan pendidikan di bangku kuliah jauh berbeda dengan model pendidikan di sekolah menengah. Oleh dosen, mahasiswa dianggap sebagai sosok dewasa yang telah mampu membedakan mana yang seharusnya dan mana yang tidak. Oleh dosen, apa yang baru saja dilakukan Deka dianggap sebagai pilihan yang diambil secara sadar oleh seorang dewasa. Oleh dosen, memilih untuk tidak mengikuti kelas dianggap bukan masalah. Dosen tidak akan marah. Berbeda dengan saat SMA dan SMP yang jika siswa keluar kelas akan dianggap bolos. Inilah salah satu perbedaan ‘pedagogi’ dengan ‘andragogi’.
“Diakhir kelas, saya akan memberikan tugas yang harus kalian kerjakan secara berkelompok. Nanti akan saya jelaskan mekanismenya. Kita lanjut dulu.”