Malam mulai datang, sang burung hantu sudah mulai berkicau. Terlihat ada seseorang laki-laki berparas tampan, bertubuh tinggi dan beralis tebal. Dia sedang merenungi nasibnya yang selalu diledek oleh teman sekelasnya sebab ia selalu mendapatkan nilai yang buruk.
"Kenapa sih gara-gara nilai gue selalu diejekin! Sialan!" umpat Arman kesal. Dia mengacak rambutnya.
"Lo kenapa?" tanya Arba yang merupakan saudara kembar Arman secara tiba-tiba datang menghampiri.
Arman dan Arba merupakan saudara kembar identik. Bedanya di jari jempol Arba terdapat tahi lalat. Mereka juga beda dalam hal apapun--termasuk dalam kemampuan berpikir. Ya, Arba lebih cerdas dan dari dulu selalu menjadi kebanggan orang tuanya. Walaupun begitu, orang tua mereka tak pernah membeda-bedakan keduanya. Mereka memperlakukan mereka sama.
"Kagak. Lagi ada masalah aja," balas Arman malas.
"Cerita, Bro." Arba merangkul bahu kembarannya itu erat.
"Gue kesel sama temen gue. Mereka selalu ledekin gue, gara-gara nilai gue selalu rendah. Lo tahu, gue Algoritma dapat C," gumam Arman sedikit kesal.
"Nggak usah dipikirin kata temen lo. Hidup bukan soal nilai." Arba mencoba menasihati kembarannya yang sedang gundah.
"Tapi gue malu, Ba," ucap Arman lagi.
"Kenapa harus malu kalau itu hasil kerja keras lo sendiri?" tanya Arba.
"Karena nggak sebanding sama perjuangan gue," keluh Arman, masih kesal.
"Mungkin lo kurang belajarnya," ucap Arba tetap menasihati. Dia paham bagaimana perasaan kembarannya, lalu Arba membayangkan apabila berada di posisi Arman pasti akan merasakan hal yang sama.
"Iya. Gue heran kita ini kembar identik, tapi kenapa otak gue sama lo bisa beda, ya?" tanya Arman yang membuat Arba menggaruk kepalanya.
"Otak kita sama. Ada di kepala, kan?" Arba menggelengkan kepalanya.
"Maksud gue, kepintaran lo sama gue beda," celetuk Arman.
"Jangan bilang kayak gitu. Setiap orang pasti punya kekurangan," Arba menjitak kepala saudara kembaranya.
"Tapi gue pengin kayak lo." Arman menjitak balik kepala Arba.
"Yang kayak gimana?" Arba mendadak bingung.
"Berotak cerdas," balas Arman singkat.
Arba menggelengkan kepalanya lagi.
"Sudah malam, tidur. Jangan mikir kata temen lo," Arba melangkahkan kaki menuju tempat tidurnya disusul Arman.
Mereka berbaring berdampingan. Tetap saja Arman masih memikirkan perkataan temannya yang menusuk relung batinnya.
"Andai gue pinter, pasti gue jadi idola kampus kayak lo. Terus cewek-cewek nempel ke gue semua." Arman terkekeh sambil menatap saudara kembarnya yang sudah tertidur pulas. "Ya elah, diajak cerita malah molor."
Arman akhirnya memejamkan matanya, rasa kantuk mulai menyelimuti.
***
Arman duduk di belakang sendiri sambil mendengarkan musik. Ya, pagi ini ia ada kuliah pagi. Sesekali ia memperhatikan teman-temannya yang sedang bersenda gurau. Apalah ia, ia hanya menjadi makhluk yang tak dianggap. Lebih baik ia diam saja, daripada mengajak ngobrol--tapi diacuhkan.
Beberapa saat kemudian, dosen datang dan seperti biasa, beliau menerangkan materi kuliah. Dia adalah Qori--dosen mata kuliah Algoritma dan pemrograman. Entah apa yang terjadi, Arman mengantuk dan tertidur pulas. Tak berselang lama, Qori mengetahui ada mahasiswanya yang tertidur dan ia langsung menghampirinya.
"Mas kenapa kamu tidur di kelas saya?" tanya Qori sambil mengoyang-goyangkan bahu Arman.
Arman yang sadar ada seseorang yang mengoyangkan badannya seketika langsung terbangun. Dengan muka masih mengantuk, ia langsung kaget karena ternyata pak Qori yang membangunkannya.
"Maaf, Pak," ucap Arman pada Pak Qori.
"Nggak apa. Sudah, cuci muka dulu. Jangan lama-lama," perintah Qori.
Dengan cepat, Arman meninggalkan kelas untuk mencuci mukanya dan beberapa saat ia kembali ke kelasnya dan duduk seperti semula.