Mahasiswa Pinggiran

choirin nofianti
Chapter #1

PILIHAN TERAKHIR

Ketika gagal menghampirimu, Percayalah,

Keberhasilan sedang menunggumu di ujung persimpangan sana.

Sore ini, kuberanikan diri untuk membuka situs web salah satu kampus terbaik di Indonesia, dimana hasil seleksi penerimaan mahasiswa baru akan diumumkan. Sebelumnya aku telah mengikuti beberapa kali seleksi penerimaan mahasiswa baru, dan beberapa kali pula aku gagal. Hari ini adalah kesempatan terakhirku untuk bisa mengejar apa yang aku impikan selama ini. Setelah memasukan username dan password, kuberanikan diri untuk menekan tombol enter, dan terlihat tulisan besar di layar: “MAAF ANDA BELUM LOLOS” seketika hatiku hancur saat membacanya.

Kututup laptop dan kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kutatap tulisan besar di samping tempat tidurku, tiga nama kampus yang sangat aku impikan dan menjadi target utamaku setelah lulus dari sekolah menengah atas. Kutarik dan kucoret satu persatu tulisan itu, UNDIP, ITS, dan UGM. Aku ingat sekali, tiga tahun lalu setelah pulang sekolah aku tulis dengan tulisan besar dan ku tempelkan disamping tempat tidurku, tulisan yang selalu kulihat setiap bangun tidur, dan menjadi semangatku untuk memulai hari. Kutatap sekali lagi, hingga perlahan tanganku mulai meremas kertas itu, dan melemparkannya sebagai pelampiasan atas kekesalanku saat ini.

Tanpa sadar, pipiku telah basah dengan derasnya air mataku. Kutumpahkan semua kekesalan dan kemarahanku dibalik isak tangis yang sekuat tenaga kutahan agar seisi rumah tak ikut khawatir dengan kondisiku yang begitu kacau ini. Aku telah mencoba berbagai macam jalur seleksi agar bisa menjadi salah satu mahasiswa di kampus tersebut, mulai dari SNMPTN, SBMPTN, dan berbagai jalur mandiri yang diselenggarakan oleh masing-masing perguruan tinggi tersebut. Tapi, semua usaha yang kulakukan selama ini tidak membuahkan hasil apapun.

Mimpiku untuk masuk Program Studi Arsitektur muncul atas saran dari Pak Darman, guru kesenian di sekolahku. Awalnya Pak Darman mengajarkan tentang cara menggambar perspektif, yang berakhir dengan sebuah tugas. Pada saat itu aku mencoba menggambar sebuah rumah, yang ternyata saat aku kumpulkan mendapatkan respon yang cukup baik. Saat itu beliau menilai bahwa aku memiliki bakat dalam menggambar bangunan, dan menyarankan aku untuk melanjutkan kuliah dibidang arsitektur. Aku sangat senang mendengar pujian dari beliau, sehingga setelah pulang sekolah aku mulai mencari kampus dengan Program Studi Arsitektur, dan saat itulah kudapatkan tiga nama kampus yang menjadi kampus impianku hingga saat ini.

Selama tiga tahun aku duduk di bangku sekolah menegah atas, kuhabiskan waktuku untuk belajar dengan harapan nilaiku saat kelulusan dapat mempermudah langkahku untuk masuk di salah satu perguruan tinggi impianku tersebut. Ya, nilaiku memang cukup tinggi, terbukti dengan beberapa kali aku masuk dalam daftar juara umum di sekolah. Tidak bisa dipungkiri bahwa di luar sana, banyak anak yang lebih pandai dan beruntung daripada aku. Mungkin ini salah satunya, bahwa seharusnya aku berusaha lebih keras lagi agar keberuntungan itu berpihak kepadaku.

Ah sudahlah, rasanya menangis terus menerus tidak akan membuat perubahan apapun untuk sekarang ini.” Ucapku pada diriku sendiri.

***

Salah satu kesalahanku adalah terlalu percaya diri, hingga lupa mempersiapkan rencana cadangan jika terjadi hal-hal seperti ini. Dan bodohnya, aku sama sekali tidak mendaftar di perguruan tinggi negeri yang lebih masuk akal dan memiliki peminat yang cukup sedikit.

Saat ini, semua perguruan tinggi negeri telah menutup pendaftaran dan aku sendiri kebingungan untuk mengambil langkah selanjutnya. Bagiku, hanya ada dua pilihan. Pertama, aku harus rela masuk kampus swasta yang tentu biayanya akan jauh lebih mahal daripada kampus negeri. Kedua, aku harus rela menunggu satu tahun lagi untuk mencoba masuk ke kampus impianku itu dengan hasil yang belum bisa dipastikan juga. Kedua pilihan itu sama-sama berat bagiku.

Kakakku, Mas Bhumi menyarankan untuk mengambil pilihan pertama. Menunggu satu tahun terlalu lama menurutnya, ditambah hasilnya pun belum tentu diterima.

 “Sil, masuk kampus swasta aja, deh!” ucap Mas Bhumi sore itu.

Dengan wajah yang masih tidak bersemangat, aku ingin mencoba menyanggah ucapannya, “Tapi, Mas...,” jawabku menggantung.

Rasanya aku sendiri tidak tahu apa keinginanku saat ini, dan apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

“Lagian apasih yang kamu cari?” Tanya Mas Bhumi. “Kalau yang kamu cari ilmunya, gak penting mau di negeri atau swasta, materi yang dikasih pun ngga akan jauh beda.” terangnya.

“Tapi kan, Mas, kalau kita mau kerja kampus juga menentukan.” Terangku dengan wajah yang masih tidak bersemangat.

“Iya, menentukan,” ucap Mas Bhumi penuh penekanan. “ Tapi itu kan bukan satu-satunya faktor, kalau kamu punya kemampuan yang bagus, aku jamin kerjaan pasti datang dengan sendirinya.” Jelasnya mencoba meyakinkanku.

“Tapi Mas, Bapak sama Ibu gimana?” Tanyaku penasaran. “Biaya masuk kampus swasta kan mahal banget, apa nanti gak bingung cari biayanya?”

“Yaudah, kamu cari aja dulu kampusnya, sekalian sama kisaran biayanya biar nanti kita bisa buat gambaran anggaran tiap semesternya.” Perintah Mas Bhumi kepadaku.

Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku, mulai dari apakah mungkin aku mengambil jurusan arsitektur di kampus swasta? apakah bapak ibu mampu membiayai kuliahku hingga lulus nanti? Dan berbagai pertanyaan lain menumpuk di kepalaku.

Sebagai seorang pedagang yang penghasilan tiap bulannya tidak menentu, pasti cukup berat untuk mereka jika harus membiayai kuliahku di Jurusan Arsitektur. Sejauh pengetahuanku, Jurusan Arsitektur memiliki biaya masuk tinggi, ditambah banyaknya peralatan yang diperlukan dan pastinya memerlukan biaya yang juga tidak sedikit.

Ah, kenapa semakin kupikirkan malah terasa semakin berat.” Batinku.

***

Setiap hari waktu terus berjalan tanpa mau menungguku selesai berpikir. Sementara hati dan pikiranku justru semakin tidak menentu. Disisi lain, aku ingin meneruskan kuliahku tahun ini juga agar nanti bisa lulus bersama dengan teman-temanku. Tapi, egoku untuk bisa kuliah di salah satu kampus impianku itu terus meronta-ronta ingin dituruti juga.

Hari ini, dengan berat hati aku mulai mencari beberapa kampus yang memiliki program studi arsitektur, lengkap dengan kisaran biaya yang ditawarkan. Kubuat list di buku catatanku, untuk mempermudah melihat perbandingannya.

Dari hasil pencarianku selama beberapa jam, aku mendapatkan nama-nama kampus dengan program studi arsitektur dengan kisaran biaya yang cukup beragam, mulai dari dua puluh lima hingga lima puluh juta rupiah untuk biaya pendaftarannya. Sedangkan, untuk sks per mata kuliah mulai dari dua ratus hingga lima ratus ribu rupiah. Untuk besar kecilnya biaya pendaftaran biasanya dilihat dari gelombang pendaftaran yang diikuti. Gelombang pertama akan lebih murah dibandingkan dengan gelombang kedua, begitu seterusnya. Karena aku mendaftar cukup akhir, rata-rata kampus telah menutup pendaftaran gelombang pertama bahkan ada yang sudah menutup untuk gelombang kedua. Jadi, biaya yang harus aku keluarkan tentunya lebih besar dari yang tercantum.

Astaga, ternyata biaya kuliah segini mahalnya,” ucapku dalam hati setelah melihat kembali daftar yang telah aku buat.

Setelah memastikan beberapa nama kampus swasta yang cukup bergengsi tertulis di daftar catatanku, aku bergegas menemui Mas Bhumi untuk meminta saran kepadanya. Belum sempat aku bicara, ternyata dia sudah sadar kalau aku masuk ke kamarnya. Seperti sudah menduga kedatanganku Mas Bhumi pun bertanya “Gimana, udah tau mau kuliah dimana?”

Segera aku menyodorkan catatan yang telah kubuat agar bisa dilihat olehnya. Dari beberapa nama kampus ada beberapa yang telah kutandai dengan lingkaran.

“Mas, itu yang aku kasih lingkarang kampus-kampus yang cukup terkenal dan kemungkinan sistem pembelajarannya juga bagus.” Ucapku sambil menunjukkan beberapa nama yang sudah kulingkari.

“Iya, ini kampusnya emang terkenal, dan ngga cuma terkenal bagus tapi juga terkenal mahalnya.” Protesnya kepadaku.

“Ya terus gimana lagi dong? Kalau mau kualitasnya bagus, ya harus berani mengeluarkan lebih kan?” sanggahku sembari bergerak duduk di depannya.

“Ngga gitu juga konsepnya,” Protesnya, sembari meraih ponsel di kasurnya, Mas Bhumi berkata, “Tadi aku tanya-tanya ke beberapa temanku dan ada yang menyarankan untuk masuk di Universitas Lentera Harapan, kalau ngga salah ada Jurusan Planologi. Katanya, jurusannya hampir sama kaya arsitektur gitu.” Jelasnya sambil menunjukkan isi pesan dari temannya.

Lihat selengkapnya