Langit di kota Surakarta sudah menggelap. Bulan berganti mengudara seiring dengan deru mesin motor yang perlahan merendah. Lelaki dengan jaket denim itu berhenti tepat di depan bangunan rumah mewah. Mematikan mesin, melepas helm, kemudian meraih sesuatu dan berjalan menuju pintu.
Wira hendak mengetuk pintu sebelum sesuatu menyembul dari balik tirai kaca jendela. Untungnya, Wira sudah kebal dengan segala hal yang berbau keterkejutan, seperti kebiasaan takdir semesta yang selalu berjalan plot twist dalam hidupnya. Jadi, untuk sekedar melihat kepala Aylin yang tiba-tiba muncul itu, ia tidak terlalu kaget.
Seperkian detik kemudian pintu terbuka, tampak gadis dengan dress bunga-bunga di bawah lutut itu tengah menyunggingkan senyum paksa.
"Bang kurir, saya lagi gak pesen bunga, jadi bawa lagi aja, ya?" ujar Aylin menatap sebuket bunga cantik di genggaman Wira.
"Ay, kukira kamu marah karena siang tadi gak kukirim bunga," balas Wira terlalu melenceng dari perkataan awal Aylin.
Gadis keturunan Tionghoa-Indonesia itu terlihat menghela napas panjang. "Wir, kamu itu gak wajib buat kirimin bunga ke aku setiap minggunya, tau!"
Wira memandangi dengan lamat gadis yang tengah menggerutu, bibirnya tersungging tipis, memandang dengan gemas karena gadis itu mengomel sembari jemarinya meraih sebuket mawar dari Wira.
"Di kamar aku aja masih ada," pungkas Aylin.
"Tapi udah layu, kan?"
Aylin tersenyum. Menuntun Wira untuk duduk pada sofa teras. "Kamu gak pulang? Gak capek apa habis pulang sekolah langsung kerja."
"Ini udah pulang," balas Wira.
"Nganter berapa bunga?"
"Banyak. Tapi kebanyakan bunga dukacita, jadi pake mobilnya Kang Babe."
"Kalau dipikir-pikir, kenapa bunga jadi simbol dukacita?"
Wira melirik buket bunga di genggaman Aylin. "Gak, kok."
"Nyatanya gitu, Wira."
"Ini?"
"Apa?"
Wira mengendikkan kepala ke arah bunga pemberiannya.
"Ini apa?" tanya Aylin.
Wira mengernyitkan dahinya. "Apa?"
"Terus ini simbol apa?"
Wira tersenyum tipis, duka cita. Turut berduka cita atas matinya kepekaan hati kamu, Ay.