Katanya, Wira harus pandai memilih. Katanya, sebagai anak bungsu dan sebagai laki-laki, Wira harus benar-benar pandai memilih. Katanya, Wira harus melihat situasi, baik atau buruk maka ia harus pandai memilih jalan yang mana yang harus diambil. Katanya. Kata Ibu.
"Wira, mau ikut Bapak atau Ibu, ayo cepat!"
Kata Ibu setahun lalu.
Katanya, Wira disuruh memilih. Lagi. Dan nyatanya, Wira tidak akan pernah bisa memilih.
Masalahnya, mau memilih atau tidak pada akhirnya Ibu tetap tidak di sini. Tidak lagi menjadi pemandangan Wira jika sedang di teras, di halaman rumah dengan pot-pot mungil, atau bahkan di dapur yang pernah sangat berantakan ketika terakhir kali Ibu menginjakkan kaki di rumah.
"WIRA, BIARKAN. BIARKAN WANITA ITU PERGI, DIA EGOIS! TIDAK PERNAH PANTAS MENJADI IBUMU!"
Atau saat Wira terjebak di kamarnya dengan segala berisik bersarang di kepala.
"Egois? Aku kerja gak boleh. Kamu di-PHK dan gak dapet-dapet kerjaan. Kita mau makan apa?! Kuliah Juno gimana?!"
"Tidak bisakah sabar sedikit saja? Aku lagi stress begini kamu malah sukanya menyulut. Kamu boleh kerja, asal jangan jadi TKW!"
Atau barangkali saat Wira melihat langkah kaki Ibu dengan tas besarnya menuju bandara tujuan negara tetangga.
"Wira, Ibu pamit. Ibu akan kirim uang setiap bulannya buat kalian. Terserah kalian setuju atau gak, Ibu pamit."
...atau saat Wira mengecek kotak pos setiap bulannya demi satu harapan yang terkabul untuk bisa berkomunikasi dengan Ibu.
...atau barangkali saat ini.
Saat langkah kakinya berpacu cepat. Saat keinginan tak berdasar untuk memilih mencegah Dipta--partner sebangkunya untuk ikut tawuran antar sekolah. Saat jemarinya meraih palang pembatas jembatan dengan napas tersengal.
"Dipta, bisa-bisanya kamu ikut tawuran kayak gini. Biasanya juga gak..." jeda Wira untuk bisa bernapas lebih leluasa.
"...apa alasannya?" sambungnya.
"Aku gak suruh kamu terlibat juga, Wir. Kenapa kamu nyusul?" balas Dipta, lelaki berambut lebih panjang dari Wira itu menengok ke ujung sana, mewanti-wanti murid dari sekolah lain akan ikut mengejar. Persis sedetik sebelum meludahkan cairan berwarna kemerahan.
"Nyegah, lah." Berharap pilihannya kali ini tidak salah. Wira menyeka sudut bibirnya yang terdapat bercak darah.
"Tapi malah ikut tawuran juga, kan?" Dipta terkekeh sebelum akhirnya meringis karena perih di area bibirnya. Bekas tonjok karena sempat lengah.
"Minimal ganti baju dulu."
Benar, seragam berwarna cokelat khas hari Sabtu itu sudah berantakan. Lusuh dan kotor. Mereka berlari karena adanya aparat keamanan yang turun ke jalanan. Wira sudah menduga, dan Wira juga tidak sengaja untuk berada di tengah-tengah tawuran hingga kena tonjok. Sebagai pembelaan, Wira balas menonjok.
Mereka mulai melangkah menyusuri jembatan, berlawanan dengan sorot oranye dari barat. Padahal, berkeliaran di jalanan dengan keadaan muka babak belur dan seragam yang sudah acak-acakan akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Jika hal ini sampai ke telinga guru, siap-siap esok hari berada di ruang Bimbingan Konseling. Bersama ceramahan guru berkumis tebal dan penggaris panjang andalan.
"Wir, jangan sabar terus, sekali-kali ngamuk." Dipta mulai bercerita.
"Ngamuk ke jalanan?"
"Habis nonjok orang bawaannya tenang," sahut Dipta kemudian tertawa. Sedetik kemudian bibirnya meringis ngilu. Lagi.
"Kalau mau lampiasin marah yang berkelas dikit, dong." Wira memandang lurus ke depan seraya membenarkan letak tas yang tersampir di salah satu bahu.
"Kamu punya hobi, kan, Ta?"
"Hobi?" ulang Dipta.
"Biasanya kalau lagi kesal, aku suka coret-coret kanvas." Wira memandang Dipta sedetik sebelum menatap ke jalanan lagi untuk kemudian kembali bersuara, "Gunain hobi kamu. Biar lebih multifungsi."
Dipta masih diam, terlihat jelas sedang mencerna apa yang dikatakan Wira.
"Kalau lagi marah terus hobi kamu tidur, ya udah, tidur. Kalau hobi-"
"-meneliti... sesuatu?" Muka Dipta sudah bertanya-tanya. Menebak Wira tidak akan bisa menemukan jawabannya. Sebab hobinya—
"Ya udah, kenapa gak telusuri lebih dalam apa yang membuatmu marah, atau bisa lebih mendalami kenapa kamu bisa marah?"