Selepas hari kemarin terjadi kerusuhan tepat di gerbang belakang sekolah SMU Aksara, kali ini gerbang itu dijaga ketat oleh satpam. Padahal biasanya hanya dipantau lewat CCTV. Beruntung, kemarin insiden terjadi selepas pulang sekolah, tim futsal yang biasanya mangkal di warung belakang sekolah itu melihat segerombolan sekolah sebelah yang tempo hari melakukan penyerangan. Jadi, mereka tak menyia-nyiakan kesempatan. Menganggap musuh datang tanpa dipanggil.
Dan akibat insiden kemarin pula, kini anak-anak yang terlibat tengah berdiri di tengah-tengah lapangan. Memang, matahari pagi belum terlalu menyengat, tetapi berdiri dengan ceramahan di depan sana satu jam lamanya mampu membuat kaki mereka yang rata-rata mukanya lebam kebiruan itu pegal setengah mampus. Belum lagi, penambahan poin atas perbuatan melanggar peraturan dan hukuman yang akan diterima setelah ini.
"Lah? Nai, kamu di sini juga?" ujar Dipta, membuat Wira yang berdiri di sampingnya menoleh dan mengikuti arah pandang Dipta, menemukan gadis yang rambut pendeknya diikat ke belakang tengah menoleh juga.
"Nai, kamu gila ikut tawuran kemarin? Di sini yang cewek cuma kamu!" ujar Dipta setengah mengomel, tatapannya tertuju pada plaster yang tertempel sempurna di dagu gadis itu.
Seraya mengemut permen pentol, Nai menjawab kelewat santai. "Lah, kalian berdua ikut juga? Kok, aku gak liat kemarin?" heran Nai tidak menyangka dua sahabatnya ikut dijemur di sini.
"Jangan-jangan, Aylin juga ikutan lagi?!" celetuk Nai terlalu keras, mukanya setengah jenaka, bahkan sekarang hendak menyemburkan tawa.
"Adipta Januardio, Jangan mengajak ngobrol yang lain!" Pak Cipto menginterupsi. Dipta bersungut. Apa-apaan! Salahkan Nai yang berbicara terlalu keras. Guru berbadan besar itu beralih menatap Nai. "Nairinia Astrinda, itu apa di mulutmu?"
Satu hal yang selalu diherankan dari Pak Cipto. Ia hapal dengan nama lengkap murid-muridnya. Mendengar nama lengkap murid satu kali, maka akan terus tertempel di kepalanya.
"Oh, permen pentol, Pak. Bapak mau?" respon Nai terlalu tidak terduga. Gadis itu mengeluarkan satu bungkus permen pentol dari sakunya untuk kemudian menyodorkan pada guru yang alisnya tengah menukik tajam.
"Mohon jangan makan saat guru sedang berbicara!"
"Tapi ini emut, Pak, bukan makan." Nai masih santai mengemut permennya.
"Itu sama saja, ke tempat sampah sekarang!"
"Mubazir, Pak!"
"Tidak baik makan sambil berdiri!"
"Ya udah, izin duduk, Pak."
"Nai, mau Bapak tambah hukuman kamu?!"
"Iya, buang, iya!" Nai beranjak ke tempat sampah. Perdebatan guru dan murid perempuan sepemberani Nai berhasil mengundang tawa yang lain.
"Diam!"
Lantas mulut mereka mengatup. Wira merutuk dalam hati sebab matahari sudah mulai naik. Bulir keringat telah membahasi pelipis hingga lehernya. Lelaki itu berusaha menutup silau matahari dengan satu tangan. Tetapi pandangannya menemukan Aylin di koridor lantai atas. Tangannya menumpu pada palang pembatas seraya menatap Wira mengejek. Ibu jari gadis itu diarahkan ke bawah, mengisyaratkan mampus berniat membuat Wira kesal.
Namun di bawah sana Wira malah menyunggingkan senyum paling manis. Cekungan di pipinya kelihatan sempurna. Mata lelaki itu menyipit lantaran silau menghadap ke atas. Aylin jadi kesal, tidak berhasil menyulut emosi Wira. Harusnya kamu kesal, Wira, bukan malah senyum! Bego!
Sebab sesuatu menjadi penyebab gemuruh di dadanya.
***
"Ah, capek!"
"Heh! Liat-liat dong kalau jalan, lagi dipel, nih!"