MAHAWIRA

el
Chapter #4

03. Lengkungan Favorit

"Cakra dan gengnya adalah penyebab Mawar Evandary melakukan percobaan bunuh diri." 

Dipta mengetuk-ngetukkan bolpoin di meja perpustakaan yang selalu sepi di istirahat ke dua. Perbandingannya sangat kentara antara istirahat pertama dan kedua, barangkali semangat membaca buku para warga SMU Aksara hanya meningkat di pagi hari saja.

"Aku memang udah gak ada hubungan apa-apa sama Mawar. Tapi bukan berarti rasa kemanusiaan aku juga ikut gak ada," sambungnya.

"Aku juga turut kasihan atas apa yang menimpa Mawar," sambung Aylin yang diangguki Wira. Setelah kepergok oleh si pelaku--Cakra di toilet putra kemarin, lelaki itu hanya memandang satu persatu dari mereka dengan muka garang. Lalu pergi begitu saja. Tetapi, tak bisa bohong kalau ada raut marah yang terpendam pada kanvas wajahnya.

"Bawaanya pengen Cakra kalau ketemu Cakar!" sungut Dipta.

"Kebalik, Ta," koreksi Nai.

"Memang aku ngomong gimana tadi?" ujar Dipta cengo.

"Bawaannya pengen cakar kalau ketemu Cakra."

"Lho, bener dong?"

"Gak, kebalik tadi," sela Nai diakhiri nada panjang.

"Tadi kamu ngomong gak gitu."

"Gitu gimana, kebalik tadi!"

"Gak-"

"Shutt! Berisik!" Aylin menginterupsi. Perdebatan Nai dan Dipta adalah makanan sehari-hari jika sedang kumpul begini.

"Kira-kira, mereka dapat hukuman apa, ya?" tanya Wira seraya menyenderkan punggungnya di rak-rak buku.

"Drop out?" sahut Nai.

Selanjutnya Dipta bersuara, "Drop out atau apapun itu, hukuman mereka gak penting buat kita, kan?"

Ya, seharusnya.

***

Wira merutuki motornya sendiri yang sedari tadi tidak mau menderum. Satu-satunya motor Vespa putih yang ia punya sebelum kehilangan masa jaya orang tuanya itu tiba-tiba mogok di tengah ia mendapat job untuk mengantarkan bunga. Langit telah berubah oranye dengan semburat ungu, dua buket bunga di keranjang masih ditunggu si penerima, pastinya. Sekarang yang ia pikirkan bagaimana agar bunga-bunga ini sampai tepat pada waktunya. 

Satu hembusan berat mengudara, Wira membaca sekali lagi alamat penerima yang lumayan jauh jika ia berjalan kaki dari sini. Lelaki itu masih berusaha menghidupkan motornya, mengecek sana-sini, padahal bensin masih terisi banyak. Di sekitar tidak ada tanda-tanda adanya bengkel, kanan kirinya hanya terisi oleh padang rumput dan sisanya perkebunan.

"WIRAA!"

Tuhan, indahnya pertolongan-Mu.

"Aylin!" panggil Wira melihat gadis itu tengah mengayuh sepedanya beberapa meter di belakangnya. 

"Kamu ngapain berhenti di sini?" tanya Aylin berhenti tepat di samping motor Wira.

"Mogok, Ay."

Aylin melihat dua buket mini di keranjang tempat Wira menyimpan bunga-bunga. "Ay, pinjam sepeda kamu," ujar Wira.

"Terus akunya?" beo Aylin menunjuk diri sendiri.

"Kamu ikut, bonceng di belakang."

Lihat selengkapnya