MAHAWIRA

el
Chapter #5

04. Sempurna? Katanya

"Kalau udah waktunya pulang langsung pulang."

"Iya, Bang." Nai mengambil sepasang sepatunya di rak, kemudian duduk di teras untuk memakainya.

"Jangan ikut tawuran."

"Hm." Nai hanya mengguman seraya mengikat tali sepatu.

"Jawabnya yang benar, Nai."

"Iyaaa, Bang Ian," tekan Nai. Ia sudah selesai dengan kedua sepatunya. Gadis itu lantas berdiri, melipat kedua lengannya di dada. Kepalanya miring ke kanan. "Kenapa kamu seprotektif ini ke aku, sih, Bang?" tanyanya.

"Karena Abang peduli."

"Iya tau, tapi aku udah gede tau!" ujar Nai galak.

"Karena Abang sayang sama kamu, siapa lagi yang akan jaga kamu waktu Ibu kerja?" tanya Ian retoris.

"Kamu juga sibuk kuliah tuh," sahut Nai memancing perdebatan.

"Tapi liat sekarang, Abang masih bisa nasehatin kamu, kan?" 

"Hm."

"Karena biar kamu percaya, gak semua lelaki itu kayak Bapak, yang sebrengsek itu ninggalin kita," pungkas Ian yang berhasil menuntun sorot mata Nai menuju tepat ke matanya.

"Tapi kamu anaknya."

"Lah? Kamu juga, kok."

"Ya udah saling benci aja," celetuk Nai. Benar dugaan Ian, hobi adiknya ini adalah memancing keributan.

"Nai..." ucap Ian datar, matanya menyorot dingin. Membuat yang ditatap memamerkan cengiran khasnya.

"Oke bercanda, hehe. Muah!" Nai segera beranjak setelah sebelumnya mengecup di udara. Ian memperhatikan kunciran rambut pendek Nai yang bergoyang-goyang. 

Rambut pendek yang selalu Nai paksa untuk diikat.

***

Belakangan, Aylin dibuat kebingungan oleh sikap Arkandi Bagaskara. Benar, lelaki yang tempo hari menyapa Aylin di toilet putra waktu itu akhir-akhir ini dengan gencar mendekatinya. Seperti saat ini, suasana kantin lumayan ramai. Meja berisi empat mangkuk bakso yang biasanya memang hanya berempat, kini bertambah satu. Arkandi tiba-tiba duduk tepat di samping Aylin dengan membawa menu yang sama seperti mereka. Membuat posisi Aylin berada di tengah antara Wira dan Arkandi.

"Makan, Ay," sapa Arkandi mengundang tiga pasang mata yang lain di meja ini. Nai menurunkan satu bakso yang sedetik lalu hendak ia lahap. "Di meja ini bukan cuma Aylin kali," ujar Nai memutar bola matanya malas.

Arkandi tersenyum paksa. "Selamat makan semuanya."

Dan barangkali, kehadiran Arkandi pacar si populer dari jurusan sebelah inilah yang membuat gadis dengan tubuh proporsional itu menuju bangku mereka. Berhenti tepat di belakang Aylin. 

"Bangga kamu rebut milik orang?!" serunya, tanpa aba-aba meraih rambut Aylin dengan sedikit kasar. Membuat pemilik rambut meringis kaget seraya memegangi rambutnya.

"Sandra, kamu apa-apaan, sih?!" Arkandi berdiri, membuat yang lain ikut berdiri. Wira dengan tegas meraih genggaman Sandra di rambut Aylin, menatap tajam untuk mengisyaratkan perempuan itu agar melepaskan jambakannya. Kepalan tangan Sandra terlepas dengan kasar, membuat Aylin tersentak. Matanya berair karena menahan sakit.

Sandra menarik Aylin, menuntun gadis itu untuk keluar dari bangku. Matanya melotot marah, sampai-sampai Aylin teringat dengan muka nenek tua jahat di jajaran rak buku Disney nya. Rambutnya yang bergelombang bergerak-gerak, seirama dengan seruannya.

"Arkandi, kamu gak bisa kayak gini!"

"Mau milih yang lebih sempurna dari aku?"

Aylin terpaku. Sempurna.

"Karena dia cantik?"

Aylin beku. "Bapak gak yakin kamu punya banyak teman hanya karena modal muka kamu!" Suara Bapak terngiang.

"Karena dia kaya?"

Lihat selengkapnya