MAHAWIRA

el
Chapter #8

07. Misi 4 Sekawan

Untuk detik demi detik yang hanya diisi oleh degub jantungnya, ia memejam.

"Heh!"

Wira menoleh secepat kilat.

"Nai!" 

Hembusan napas panjang mengudara. Wira lupa, ini adalah ruangan olahraga. Dan hari ini adalah jadwal ekskul silat. Nai adalah salah satu anggota. Wajar jika gadis yang tengah mengenakan seragam putih itu di sini. Wira masih mengatur ritme napasnya seraya matanya terus melongok ke luar, mewanti-wanti Ren Rajaksa menemukannya.

"Wir, kamu kayak habis dikejar-kejar tau!"

"Memang."

"Hah? Dikejar siapa?"

Napas Wira berangsur pulih. "Nai, kecurigaan yang kita bahas tadi siang di kantin kayaknya benar."

"Organisasi GNB?" tanya Nai pelan.

"Iya. Kalau mau, kita bahas ini lagi bareng-bareng," tawar Wira.

"Aku ayo aja, sih." Nai menyeka anak rambutnya yang lembab.

"Karena aku yakin, organisasi ini bakal merugikan banyak orang," tutur Wira.

"Memang tadi kamu tau apaan?" Nai sudah penasaran setengah mati dengan apa yang Wira ketahui yang menjadi penyebab lelaki itu dikejar-kejar.

"Nanti malam kita kumpul aja, di sini gak aman."

***

Di belakang rumah Aylin, selain ada hamparan berisi bunga-bunga cantik koleksi gadis itu, di sana juga terdapat teras yang lumayan luas. Sejak terjalin pertemanan mereka, di sini adalah tempat perkumpulan paling nyaman. Tempatnya terang, sofa empuk berjejer, juga udara sejuk sebab berdekatan dengan banyak tanaman. Jangan lupakan monstera pemberian Wira tempo lalu, ukurannya sudah semi besar. Aylin letakkan di sudut teras bagian kanan.

Sudut bibir Wira terangkat melihat itu.

Sampai Minggu terakhir kemarin, Wira masih saja berlanjut memberikan bunga pada Aylin. Minggu pertama di bulan Mei adalah bunga lily. May lily, bunga kelahiran bulan Mei. Refleksi dari bulan kelahiran gadis itu.

Suara petikan gitar mengalun, meredam suara jangkrik malam ini, mengiringi sejak lima menit lalu mereka berkumpul. Lelaki dengan rambut gondrong rapi yang tengah menghayati jemarinya pada senar gitar itu sedikit terganggu sebab lemparan seonggok keripik yang mengarah padanya. 

Menoleh sangsi, ia tahu si pelaku. "Nai!" Tetapi kemudian tangannya mengambil lemparan tadi untuk kemudian ia masukkan ke dalam mulut. Kalau ditanya, belum lima menit, katanya. Mengunyahnya seraya memasang ekspresi meledek Nai.

"Nyanyi, dong, Ta. Gitar doang gak asik!" protes Nai. Setelah selesai dengan keripik singkong, ia membuka bungkus permen pentol kesukaannya.

"Daripada kamu, gak bisa gitar."

Wira datang dari dalam bersama Aylin, lelaki itu membawa sebuah papan persegi dengan kayu penyangga kira-kira setinggi satu setengah meter. Sementara Aylin dengan spidol di tangan. Wira meletakkan setidaknya tiga langkah dari depan meja. Memperkirakan agar tulisan bisa terjangkau mata nantinya.

"Nyanyi, Nai," pinta Dipta pada Nai. Gadis itu menurut, mengambil permen pentol di antara bibirnya dan mengayunkannya pelan, menjadikannya seolah-olah tongkat kecil pengatur nada, sementara matanya memejam. Bersiap bernyanyi.

Dipta memperhatikan lebih dari tiga detik. Lucu.

"Bergetar hatiku..." Lirik yang ini tidak ada iringan gitar dari Dipta. Lelaki itu mengerutkan dahi, tidak ada aba-aba Nai akan menyanyikan lagu apa. Setelah telinganya semakin familiar, baru ia tahu lagu ini.

Petikan gitar mulai mengalun.

"Saat kuberkenalan dengannya~"

Lirik kedua dari lagu Cinta karangan Vina Panduwinata berhasil mengalun, menciptakan sinyal-sinyal harmoni di telinga pendegarnya, menyusup ke otak—menjadi penyebab ledakan serotonin penghuni teras belakang rumah Aylin.

"Kudengar dia menyebutkan nama dirinya~"

"Sejak ku bertemu..."

Satu lagi Dipta mencuri pandang pada sang penyanyi...

"Ku telah jatuh hati padanya~"

...sementara binar mata si pemilik suara tersemat pada lelaki dengan papan kayunya.

Jemari Dipta berhenti. Nai turut berhenti. "Kenapa berhenti, sih?" omel Nai dengan tanya. Heran karena tiba-tiba Dipta menghentikan petikan gitar secara sepihak. Mengundang perhatian Aylin dan Wira yang baru duduk bergabung bersama mereka. Mata Nai bergerak mengikuti pergerakan Dipta yang menyenderkan gitar di kaki sofa. 

"Udah mau mulai meeting."

Mendengar jawaban Dipta, Nai mengangkat bibir atasnya sangsi. "Jadi, apa yang kamu tau tadi siang sampai kayak dikejar setan, Wir?" sambung Nai beralih ke Wira.

Lelaki itu maju sedikit. "Ayu Willa bilang, katanya kasus Mawar Evandary adalah kasus murni," mulainya. Persis sedetik sebelum membasahi kerongkongan dengan seduhan teh hijau yang cukup untuk menghangatkan suhu malam ini.

"Kasus murni?" ulang Aylin sekali lagi.

"Murni?" Nai menimpali.

"Berarti yang lain... disengaja, gitu?" cetus Dipta sebelum seperkian detik kemudian Wira menjentikkan jari. 

Lihat selengkapnya