Sapuan demi sapuan halus menggores kanvas yang semula putih bersih. Coretan merah. Coretan biru. Hitam. Putih. Wira pikir, kuas dan kanvas sudah terlalu banyak menyita pikirannya. Ia telah berkutik lebih dari satu jam dengan semua alat lukis di depannya ini. Isi kamar Wira rata-rata hanya berisi coretan tidak berbentuk pada sebuah kanvas berbagai ukuran. Tertempel di dinding-dinding. Bahkan di dinding sisi kanan, terjejer sebuah kanvas dari mulai ukuran besar hingga kecil. Semuanya rancu. Hanya berisi coretan atau sapuan perpaduan warna.
Siapapun pasti berpikir kamar Wira seperti gallery seni.
Di antara perpaduan warna, Wira menambahkan sapuan akrilik putih di tengah, memotong warna-warna di belakangnya. Satu garis. Harapan.
Wira tersenyum tipis. Menghela napas panjang sampai kemudian jemarinya yang penuh bercak akrilik meletakkan sebuah kuas ke gelas air yang setengah keruh.
Satu lagi lukisan abstrak tercipta. Selesai.
Dan satu-satunya kanvas berisi coretan konkret ada di sudut ruangan. Lukisan bunga lily.
Sebagai hadiah ulang tahun Aylin sepuluh hari lagi.
***
"Dipta gerak cepat banget lagi." Nai terkikik. Menatap punggung lelaki itu dari meja kantin yang biasa mereka duduki saat jam istirahat. Kini, meja itu hanya diisi oleh tiga orang. Setelah beberapa menit lalu Dipta dengan tangan kirinya membawa sebuah minuman berwarna merah jambu, Nai tebak itu adalah jus jambu, sementara tangan kanannya melambai ke arah mereka dengan senyum khasnya, memberi isyarat bahwa ia siap menjalankan misi. Tepat sedetik sebelum mendekati kursi tempat Ayu Willa duduk.
"Boleh duduk di sini? Gak ada tempat lagi soalnya," adalah kalimat pertama Dipta pada kakak kelasnya itu. Seharusnya ia berterima kasih entah kepada siapa karena memang kursi lain tidak ada yang tersisa. Ya, kecuali tiga orang di ujung sana, tempat tiga temannya duduk.
Yang diajak bicara mendongak, gagal melahap satu buah bakso ke dalam mulutnya. Sebelum menjawab, perempuan itu menoleh ke sekitar. "Oh, boleh," tanggapnya.
Dipta menyunggingkan senyum, meletakkan jus jambunya seraya duduk. "Sendirian aja?" tanya Dipta setelah menyedot minuman di depannya.
"Gak, itu teman aku lagi ngantri."
"Temannya berapa— maksudnya, yang lagi ngantri berapa orang?" tanya Dipta lagi, meralat ucapannya yang kadang-kadang tidak difilter.
"Dua orang."
"Oh, cukup berarti," sahut Dipta memperkirakan tempat duduk.
"Apanya?" tanya gadis itu.
"Duduknya."
"Willa, oh— hm, kita ganggu, ya?" Tiba-tiba dua perempuan dengan nampan berisi makanan dan minuman itu menghampiri, masih berdiri belum juga duduk.
"Hah? Sini, duduk!" pinta Ayu Willa.
"Emm, kita di sana, deh. Kayaknya juga lagi asik," ujar salah satunya seraya menunjuk bangku kosong yang baru ditinggalkan oleh orang yang menempati. Berjarak tiga meja dari sini.
"Eh— apaan, sih, jangan tinggalin aku, dong!"
Dua orang temannya tidak menggubris, berjalan ke meja kosong seraya cekikikan. Ayu Willa merutuk dalam hati. Berani taruhan, kedua temannya pasti sedang menjulidinya habis-habisan.
Semuanya tidak pernah ada yang tahu, semuak apa Ayu Willa dengan pertemanan ini. Mereka dikenal bersahabat sejak awal kelas sepuluh. Bagai tiga serangkai. Toxic Relationship, ia ingin meninggalkan teman-temannya, tetapi tidak semudah itu. Ia tidak punya teman yang sedekat itu selain mereka berdua.
"Mbak namanya siapa?"
"Aku bukan Mbak kamu. Panggil Willa," balasnya, Dipta memperhatikan gerakannya yang tengah menuangkan kecap.
"Aku kira Ayu."
"Itu udah tau, ngapain nanya?" Willa mengalihkan pandang dari mangkuk, menatap Dipta.
"Kan, memastikan aja, Ayu."
"Panggil Willa aja."
"O..ke."
Hening sempat mencuri perhatian sejenak.
"Willa," panggil Dipta.
Gadis itu mendongak setelah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, sebab mengganggunya makan. Rambut Willa seperti Nai, bedanya lebih panjang sedikit. Poni tipisnya menghiasi kening.
"Kenapa?"
"Hari ini... kamu sibuk gak?" tanya Dipta hati-hati.
"Sibuk organisasi."
Dipta lupa, organisasi GNB libur hanya hari Sabtu. "Sampai jam berapa?"
"Kenapa?" Willa berhenti dari kegiatan makannya. Benar-benar menatap lelaki itu dengan rambut sedikit panjang untuk ukuran lelaki, Willa menunjukkan respon bahwa ia terganggu oleh kedatangan Dipta.
"Pengen main aja sama kamu."
"Maaf?"
"Aku boleh gak jadi teman kamu?"
Kalau Nai di sini, pasti gadis itu telah menertawai dirinya habis-habisan. Beneran, Dipta yang ini sangat kalem. Ia biasa bergaul dengan Nai yang urakan. Menghadapi gadis itu yang moodyan, saling melempar perdebatan. Tetapi kali ini berbeda, ternyata Dipta tidak sefriendly itu. Atau karena Ayu Willa terlampau judes?
Melebihi judesnya Ibu saat ia tengah menjahili Diajeng, adiknya yang terakhir.
"Kamu ada maunya, ya?" tuding Willa. Menyipitkan mata.
"Hah?"
"Sebelumnya gak ada yang minta temenan sama aku."
Jawaban Willa membuat Dipta cepat-cepat menatap gadis itu.
Namun kemudian gadis dengan mangkuk yang telah tandas itu berdehem canggung. "Maksud aku—"
Keceplosan. Dipta tersenyum dalam hati. Masalah pertama, masalah pergaulan. Ayu Willa memberikan respon mengintimidasi dari awal kepada Dipta karena ia tidak terbiasa dengan orang baru. Apalagi, Dipta langsung mengajaknya untuk berteman.
"—maksud aku gak ada yang bilang dulu kayak kamu," sambung Willa setelah beberapa detik menjeda. Ia mengambil tisu, mengusapnya pada bibir.