MAHAWIRA

el
Chapter #10

09. Kamala Raspati: Seonggok Jiwa Tanpa Rasa

Senja telah mereda, Wira baru saja selesai melakukan kewajibannya sebagai muslim sesaat setelah adzan maghrib berkumandang. Sekarang ia tengah menuju ke dapur, berdiri memandangi berbagai jenis bahan makanan juga bumbu dapur yang baru sore tadi dibelinya sehabis pulang mengantar bunga bersama Aylin. Jemarinya beralih mengambil sebuah buku berjudul '101 Resep Masakan Terbaik.' Hasil meminjam— ralat, hasil dipinjami oleh Aylin. Buku gadis itu banyak, pasti ada saja buku semacam ini terselip di raknya. Semula gadis itu hendak membantunya membuat masakan untuk menu makan malam ini, tetapi Wira menolak keras. Jika masak masih dibantu oleh gadis itu terus-menerus, kapan Wira akan bisa?

"Baca ini aja, deh. Setidaknya, gak buntu-buntu banget, kan?"

Sejak ditinggal Ibu setahun lalu, Wira sangat jarang makan masakan rumah. Nyaris tidak pernah, untuk makan sehari-harinya biasanya beli di warung terdekat. Atau, berkeliling mencari tempat yang lain jika bosan, mencicipi segala rumah makan yang ia lewati. 

Mungkin, untuk bisa merasakan masakan rumah, biasanya seminggu sekali. Itu pun kalau masak dibantu Aylin. 

Bapak sudah pasti lembur, mentok-mentoknya jam delapan malam di tempat cuci motor pasti sudah sepi. Pekerjaan baru bapak setelah diPHK dari pabrik tempatnya semula. Bang Juno juga belum pulang, tempat fotokopian tempatya bekerja buka hingga pukul sembilan. Jadi, sudah jelas mengapa Wira memasak menjelang petang seperti ini. Mereka hanya punya waktu di malam hari.

Wira baru akan membuka halaman pertama saat telepon rumahnya tiba-tiba berdering. Seraya membawa buku resep, lelaki itu menuju ruang tengah, duduk di kursi seraya menempelkan gagang telepon.

"WIRA!"

Wira refleks menjauhkan gagang telepon.

"Salam dulu lebih baik, bro."

"Assalamualaikum, Wira." Suara di seberang dibuat semanis mungkin.

"Waalaikumsalam, Nai."

"Kamu sibuk gak?"

"Iya."

Wira membuka halaman demi halaman, mencari resep yang pas.

"Sibuk ngapain? Gak capek apa habis pulang kerja."

"Aku sendirian di rumah, makanya telepon kamu."

"Ibu kamu belum pulang?"

"Belum."

"Wir, aku mau tanya," ujar suara di seberang.

"Tanya apa, Nai?"

Wira membuka halaman selanjutnya.

"Menurutmu, gimana cara dekatin orang kayak Abimanyu?"

Ayam Kecap Pedas Manis, Wira meneliti bahan-bahan yang tertulis.

"Wir?"

"Tanya apa, Nai?" Wira bertanya sekali lagi.

Tetapi entah mengapa suara di seberang terdengar sewot. "Ck, tadi aku udah tanya, Wira."

"Hah? Maaf, aku lagi gak fokus, coba tanya lagi." Wira mengalihkan pandang dari halaman Ayam Kecap Pedas Manis.

Hela napas panjang terdengar di telepon. "Menurut kamu dekatin Abimanyu itu gimana?"

"Cari tau yang dia suka, terus kamu ikutin. Bisa jadi alasan buat kamu temenan sama dia," jelas Wira.

"Gitu, ya?" Suara Nai memelan. Terdengar tidak bersemangat. Siapa yang tahu, bahwa ia menghubungi Wira bukan karena benar-benar tidak tahu cara mendekati Abimanyu Adjie. Tetapi Wira menjawab tanpa berpikir. Nai tidak ada lagi alasan untuk tetap tersambung dengan telepon.

"Kamu udah jalanin misi?"

"Belum, mungkin besok aku mulai."

"Nai, udah dulu, ya?"

"Yah... aku gak ada teman, Wir."

"Memang kamu mau ke sini?"

Disuruh Ibu jagain rumah..." ujar Nai rendah.

"Ya udah, anteng di rumah aja."

"Kalau sama Aylin, pasti kamu gak gini."

Baru saja Wira membuka mulut hendak membalas, telepon mati.

***

Wira mendorong pintu bening di depannya, gantungan bertuliskan 'Buka' itu bergoyang sementara hawa sejuk AC merayap, untuk seketika itu bau obat-obatan menguar. 

Apotek adalah tujuan pertamanya pagi ini sebelum menuju sekolah. Mengenai masak memasak tadi malam ternyata terdapat drama sedikit. Jemarinya tersayat sewaktu memotong sayuran. Kalau kata bapak, namanya usaha, pasti ada sakitnya. Itu adalah sebab ia ada di sini, membeli plaster untuk menutup lukanya. Walaupun tidak seberapa, tetapi lumayan perih untuk aktivitas sehari-hari. 

Kakinya beranjak menuju kasir, mengantri sebab seorang perempuan dengan rok abu-abu tengah melakukan pembayaran. Wira tidak melihat logo seragam atasnya sebab gadis itu menggunakan jaket. Tetapi kemudian matanya terpaku pada obat yang dibelinya, hanya sekilas. Namun Wira tahu, itu merek obat yang sama seperti yang ia sita dari Bang Juno tempo lalu. Obat yang membantu Bang Juno tidur jika ia tidak bisa tidur. Yang menjadi ketakutan Wira setiap kali Bang Juno hendak menenggaknya beberapa sekaligus. Overdosis obat tidur. Adalah sebab ia menyita itu dari Bang Juno.

Pandangan Wira teralih pada gantungan keychain yang bergoyang-goyang pada tas gadis itu. Keychain dengan ukiran nama 'Kamala.' 

Sebentar, Kamala...

Belum sempat Wira berpikir bahwa gadis itu adalah seseorang yang ia pikirkan, gadis itu berbalik.

...Raspati. Terget misinya! 

Bibir Wira melengkung ke atas. Ia menyebutnya, serendipity.

Keberuntungan yang sungguh kebetulan.

Gadis itu menuju pintu, membukanya lantas hilang dari pandangan Wira. Lelaki itu lekas membayar untuk kemudian berjalan tergesa menuju motornya. Rupanya, Kamala Raspati berjalan kaki. Wira tebak, rumahnya pasti sekitar sini.

Motor Vespa putih itu melambat sewaktu melintas di samping Kamala Raspati. Wira menoleh ke arah gadis itu, berseru, "Gerbang udah mau ditutup, ayo naik!"

Yang diajak bicara menoleh, sedikit terkejut ada orang tak dikenal yang tiba-tiba mengajaknya bicara. 

"Udah dekat," sahutnya.

Sebentar lagi jam tujuh tepat. Artinya, gerbang hampir ditutup. Namun entah mengapa perempuan kelas sebelah bernama Kamala ini berjalan sangat santai. Tatapannya lurus ke depan, ia hanya menoleh sekilas tadi waktu Wira berseru. Tetapi Wira menangkap sorot lain di mata itu. 

"Masih jauh, gak nyampe lima menit, kamu bakal dihukum," ujar Wira lagi. Mau tak mau, Wira mencegat langkah Kamala. Berhenti di depan gadis itu. "Naik," katanya.

Sebelumnya Kamala menghela napas dalam. Ribet, batinnya. Ia tahu lelaki di depannya ini satu sekolah dengannya. Namun mengapa harus mengurusi dirinya akan terlambat atau tidak. Kalau mau lewat ya lewat saja. Tetapi karena Kamala sangat benci perdebatan, maka ia menurut saja.

"Kamala, ya?" Wira mulai berbicara.

Lihat selengkapnya