Salah satu kebiasaan keluarga Januardio sedari dulu adalah, makan bersama. Mereka menjunjung tinggi kebersamaan. Ya, semua orang juga makan, semua orang juga bisa makan bersama. Tetapi untuk keluarga satu ini, mereka tidak akan makan jika kursi kayu yang memutari meja berisi makanan ini kosong. Dan masalahnya adalah, jam hampir memasuki pukul tujuh malam, tetapi salah satu kursi kosong di ujung itu tetap tidak berpenghuni.
"Mas Dipta, kok, lama banget, sih, Bu?" Diajeng sudah menggerutu. Anak perempuan dengan umur lima tahun lebih muda dari Dipta itu sudah keroncongan sejak tadi.
"Mungkin pertandingan Mas mu belum selesai, Jeng. Ya sudah, semuanya makan saja dulu. Kasihan Diajeng sama Aldinata sudah lapar," ujar Bapak Janu. Apalagi, si bungsu sudah merengek sejak tadi.
Akhirnya, mereka makan tanpa anak pertama mereka. Tanpa Adipta Januardio.
Membagi satu piring nasi dan satu piring mie instan untuk lima anggota keluarga.
Bagaimanapun, keadaan semakin tidak menentu akibat krisis yang melanda mereka sejak setahun yang lalu. Usaha bahan baku pembuatan tempe yang dibangun Pak Janu mendadak merosot. Membuatnya mau tak mau mengambil pekerjaan sampingan. "Hari ini, walaupun belum tentu kenyang, tapi setidaknya kita bisa makan. Nanti, Bapak jamin kalau Bapak sudah gajian kita makan banyak," ujar Bapak Janu. Ia bersyukur memiliki istri juga anak-anaknya yang rela hidup sederhana, mereka tahu bahwasanya hidup seperti ini tidak biasa mereka lalui, tetapi keadaan yang mendesaknya untuk terus mengarungi bagaimanapun kondisi kedepannya.
"Gak ada pisang goreng, Bu?" Aldinata bertanya seraya menatap makanan di atas meja. Pisang goreng kesukaannya yang biasanya tersedia di meja, kini tidak ada. Bahkan, nyaris seminggu hanya sekali. Aldinata jadi merindukan makanan kecoklatan itu.
"Aldin, Nak, nunggu Bapak gajian, ya?"
Aldinata mengangguk dengan muka nelangsa.
"Aldin tau gak, pisang goreng kalo masih panas namanya apa?" tanya Bapak Janu pada anak terakhirnya itu.
"Masih tetap pisang," balas bocah laki-laki itu lugu.
"Salah,"
"Pisang goreng panas," sahut Diajeng.
"Salah,"
"Pisang panas goreng," sahut Diajeng lagi, menjadi sebab tawa ibu terdengar. "Apa bedanya, Jeng!" kata ibu terheran.
"Namanya hihang hoyeng," celetuk Bapak Juno. Seketika itu, tawa mengudara di ruang makan keluarga Januardio. Kalau di sini ada Dipta, sudah dipastikan ramainya akan semakin pecah.
"Dasar, jokes bapak-bapak!" seru Diajeng setelah tawanya berhasil mereda.
Sampai jarum jam menuju angka delapan, Dipta baru saja tiba di rumah. Meja makan sudah kosong. Peluh terlihat jelas di anak-anak rambutnya yang lembab. Hari yang melelahkan untuk sebuah pertandingan penuh perjuangan. Lelaki itu merasa lega sewaktu mengetahui keluarganya telah makan malam terlebih dahulu.
Kini ia sudah membersihkan badannya, perutnya meraung minta diisi, lelaki itu melihat satu piring tidak penuh berisi nasi dan mie instan. Dipta tersenyum tipis. Ternyata, Ibu masih membagi rata sampai ia kebagian juga. Bagi sebagian orang, barangkali nasi dengan sebuah mie sebagai lauk itu hal yang sedikit tidak biasa. Tetapi kalau memang hanya bisa makan seperti ini, tidak masalah. Memang jalannya seperti itu. Memang itu jalan satu-satunya untuk bisa kenyang, maka Dipta akan makan.
Dipta mendengar rengekan Aldinata, adik terakhirnya itu menangis. Entah karena apa. Belum sempat lelaki yang rambutnya masih setengah basah itu menengok keadaan adiknya di kamar, ibu sudah keluar dari kamar dengan bocah tujuh tahun di gendongan.
"Aldin kenapa, Bu?" tanya Dipta. Di tangannya masih tertentu satu piring nasi tidak penuh lengkap dengan mienya.
"Lapar lagi, katanya, Ta. Kebiasaan Aldin, tadi, kan, cuman satu piring nasi ibu bagi jadi lima," jelas ibu seraya menenangkan Aldinata.
Dipta masih bungkam, ia menatap nasinya sendiri yang belum tersentuh sama sekali.
"Ta, Ibu boleh minta nasi kamu sedikit saja, buat mengganjal perut adikmu ini. Berisik dia nangis terus dari tadi," ujar ibu terlihat memelas.
"Kamu tadi pas pertandingan biasanya dikasih makan sama panitia? Kamu udah makan apa belum?" sambung ibu lagi, ia terlihat cerewet. Sebab ia bingung, dia juga merasa stress menghadapi kondisi seperti ini yang bukan hanya satu kali saja.
Dipta bungkam. Suara tangisan Aldinata, pertanyaan beruntun ibu, dan suara perut yang hanya bisa ia dengar sendiri serta aroma makanan di tangannya terus terngiang, berputar-putar di otaknya.
Aku belum makan, Bu. Aku lapar.
"Ini buat Aldin aja, Mas udah makan." Dipta menyerahkan sepiring nasi jatah miliknya. Tidak tega dengan Aldinata yang katanya masih lapar itu.
"Kamu beneran udah makan, kan, Mas Dipta?" tanya ibu memastikan anak sulungnya itu, tetapi tangannya beralih menerima pemberian Dipta. Mendudukkan Aldinata ke kursi dan menyuapi anak bungsunya.
"Mas Ipta, maaci," ujar bocah laki-laki itu. Ia mengelap buliran air yang membuat matanya memburam.
Dipta mereda, ia mengangguk tanpa menjawab pertanyaan ibu. Mencium pipi adik keduanya itu lantas beranjak pergi.
"Mau kemana, Ta?" seru ibu dari dalam.
"Keluar bentar," sahut Dipta yang kemudian menaiki motornya, melaju membelah jalanan malam kota Surakarta yang ramai. Ia berhenti pada sebuah kotak yang berdiri kokoh dengan sebuah telepon genggam di dalamnya. Warung telekomunikasi, Dipta menyalakan gulungan nikotin sebelum benar-benar turun dari motornya dan memasuki wartel. Lelaki itu memasukkan koin ke dalam, menekan beberapa nomor untuk kemudian beberapa detik telah tersambung dengan orang di seberang.

"Malam," ujar Dipta.
"Oi, Bro, kenapa telepon aku. Tumben?" ujar suara di seberang sana.
"Abangmu di rumah gak, Nai?" tanya Dipta pada gadis itu.
Nai tidak langsung menjawab, lima detik berlalu baru ia bersuara, "Di rumah."
Dipta menyesap nikotin di sela jemarinya, kemudian menghembuskannya panjang. Itu lebih mirip seperti helaan napas lelah. "Kalau aku ajak keluar, pasti gak boleh, ya?"
"Ya... kamu tau sendiri, kan, Ta, gimana posesifnya Bang Ian," ujar Nai merendah, apalagi ini malam-malam. Ia harus menjejali abang satu-satunya itu untuk bisa percaya dia baik-baik saja. Tempo lalu sewaktu kumpul bersama di rumah Aylin pun, ia mati-matian meyakinkan abangnya itu bahwa ia tidak bohong untuk benar-benar di rumah Aylin.
"Kamu ngerokok, ya, Ta?" tebak Nai sebab ia mendengar sesapan juga hembusan berulang dari seberang telepon.
"Nai, aku lapar," adu Dipta tidak mempedulikan pertanyaan Nai semula.
"Kamu belum makan tapi udah ngerokok, sih, Ta?"
Dipta bungkam. Bahkan ia seperti melihat wajah Nai di depannya yang sendang mengomel.
"Jangan kebanyakan ngerokok, Ta. Kamu makin jelek."
"Wira juga ngerokok tapi di mata kamu gak jelek."
"Apaan, sih? Gak ngerti, Ta."
Sambungan masih terhubung, pemikiran mereka juga saling terhubung. Namun hening mencuri perhatian keduanya. Mereka sama-sama diam.
"Gimana pertandingan kamu?" tanya Nai, hanya untuk sekedar memecah keterdiaman yang terjadi.
"Bukan Dipta namanya kalau gak menang," balas lelaki itu percaya diri.
"Kecuali satu," sambung lelaki yang rambut semi panjangnya telah setengah kering.
"Apa?"
Aku kalah dalam memenangkan hati kamu, Nai.
***
Kalau Nai perhatikan, hari demi hari ruangan organisasi GNB semakin ramai. Bukan hanya itu, bahkan ia sering menjumpai secara terang-terangan kaum kutu buku— maksudnya yang terlihat pendiam dengan kacamata tebal akan dirundung tanpa sebab.
Barangkali kalau yang Nai tahu, kecuali satu orang—lelaki yang berada beberapa meter di depannya— dengan sebuah buku sejarah di tangannya.
Melihat itu, Nai segera berlari menuju Abimanyu Adjie yang tengah berjalan menuju perpustakaan. Nai melambat sewaktu di belakang lelaki itu. Kemudian mensejajari langkah Abimanyu. Membuat lelaki itu menoleh.
"Abimanyu," panggil Nai. Semoga lelaki ini tidak lupa dia yang mengajaknya bicara tempo hari lalu.
"Hm."
"Boleh bicara bentar?" tanya Nai sopan.