"Aylin!"
"Arkandi?"
"Aku mau ngomong sama kamu," ujar Arkandi tanpa basa-basi.
Aylin yang sedang menunggu bus di halte dengan Nai pun, menoleh ke arah Nai. Hari ini, Mang Suto tidak bisa jemput, itulah sebab ia akan pulang dengan Nai. Tetapi kedatangan Arkandi mencegah langkah Aylin.
Nai beralih menatap bus yang baru saja datang dan berganti menatap Aylin. "Ay, busnya udah datang."
"Ar, aku gak bisa. Busnya udah datang," tolak Aylin hendak beranjak menuju bus. Tetapi pegangan Arkandi pada telapak Aylin menghentikan langkah gadis itu. Lelaki itu menatap Nai. "Aylin pulang bareng aku, gak usah khawatir. Dia aman sama aku."
Nai menatap keduanya. "Oh... oke." Nai sedikit mengendikkan senyum ke arah Aylin. Kalau boleh Aylin terjemahkan, Mantap, Ay. Target mendekat tanpa dipancing!
Derum bus menjauh, menyisakan dua orang yang kini saling bergeming. Sebelum kemudian Arkandi yang mulai bersuara, "Ay, aku minta maaf atas kelakuan Sandra."
"Kamu gak salah, kok, kenapa kamu yang minta maaf?"
Karena disengaja?
"Mau temenin aku ke taman kota?"
"Mau ngapain?"
"Jajanin kamu es krim."
"Hah?"
"Apaan, sih, Arkandi?"
"Naik."
Di antara padatnya jalanan kota Surakarta, motor Arkandi melaju menuju salah satu taman kota.
Meninggalkan tatapan Mahawira yang tertuju padanya.
***
"Aku gak yakin kita kayak gini gak menimbulkan masalah lagi sama Sandra."
"Gak, Ay." Arkandi menyodorkan satu cone es krim pada gadis itu. Lantas ikut duduk pada kursi di samping pohon palem.
"Kamu sendiri gimana? Ada yang marah gak kalau aku dekat sama kamu?" tanya Arkandi, ia menatap Aylin dari samping. Rambut gadis itu berubah kecoklatan sebab tergradasi oleh cahaya matahari sore.
"Gak ada."
"Mahawira?" Arkandi menyahut terlalu cepat. Seakan hal itu sudah ingin ia tanyakan sejak awal. Seperti nama Mahawira sudah lama terlintas di otaknya.
Aylin tersenyum, ia menoleh pada Arkandi. "Kita temenan, ngapain marah?"
Detik berikutnya hanya diisi oleh gemerisik daun palem yang bergesekan.
"Iya. Kalian, kan, teman. Kalaupun bersatu, gak mungkin, kan?"
Seakan sedetik yang rasanya melambat, Aylin bergeming. Menunggu otaknya mengeluarkan jawaban yang tepat untuk pernyataan Arkandi barusan, tetapi lelaki itu malah kembali bersuara, "Kamu sama Wira beda keyakinan. Benar, kan, Ay?"
Kadar rasa ingin menonjok lelaki ini meningkat. Aylin tahu, tidak usah diingatkan. Toh, kita hanya berteman.
...dan itu letak masalahnya.
"Arkandi, harus banget bahas gak penting kayak gini?"
"Ay, kamu sama Wira beda. Tapi kalau aku sama kamu, kita sama."
"Kamu...?"
"Iya, Kakek aku keturunan Tionghoa," balas Arkandi.
Aylin menghela napas. "Udah kubilang, perbedaan aku sama Wira gak masalah. Kita, berteman, Ar."
"Jadi, kalau aku sama kamu... bisa, kan, sama-sama, Ay?"
Aylin tersedak es krim yang tinggal separuh. Suara Arkandi barusan terlalu memaksa masuk ke telinganya. "Ar, bukannya gimana-gimana, tapi aku gak mau ada masalah sama Sandra. Jadi..."
Aylin melanjutkan, "...kita mending temenan aja."
Arkandi memandang ke depan. "Beberapa waktu lalu, aku sama Sandra berakhir di sini," pelan Arkandi mulai bercerita. Es krim di tangannya telah habis. Menyisakan rasa manis yang masih bersemayam pada bibir laki-laki itu.
"Arkandi, kamu kenapa aku hubungin gak bisa?" Sandra bersungut seraya membawa ponsel tebal berbentuk persegi panjang. Menatap Arkandi yang bungkam sejak beberapa menit yang lalu.
"Ponsel punyaku aku jual," ujar Arkandi memecah perdebatan yang hanya didominasi suara Sandra sejak awal.
"Kenapa dijual, Ar?" tanya gadis dengan rambut bergelombang itu, tersemat akan penekanan di setiap katanya.
"Kamu tau, kan, ekonomi keluarga aku sedang merosot?"
"Ya, kenapa harus jual hape juga?"
"Itu buat bantu keluarga aku, kamu ngerti gak, sih?"
"Ah, capek aku lama-lama!"
Arkandi terkekeh. "Kamu mana paham, hidup serba berkecukupan terus gitu," seloroh Arkandi terlanjur tersulut emosi.