MAHAWIRA

el
Chapter #14

13. Balon Kebenaran

Brugh!

Sret!

"WOI?! LEPAS— ARRGHHSJSRSH!"

"Nai, buka pintu!"

Grep!

Mobil melaju dengan kecepatan penuh, lima orang kecuali satu di dalamnya baru bisa bernapas lega setelah berhasil mengikat seseorang yang tadi tertutupi karung oleh Dipta. Aylin di kursi depan menoleh ke belakang memastikan tidak ada siapapun yang melihat tindakan mereka. Sementara Wira fokus pada kemudinya.

Nai dan Dipta kompak menyenderkan punggung pada kursi seraya menghembuskan napas panjang. "Wir, pelan-pelan aja, aku gak yakin kamu bisa nyetir," ujar Dipta mengatur ritme jantungnya. Masalahnya, tindakan mereka tadi lumayan menegangkan. Menculik seseorang menggunakan karung yang biasa digunakan Pak Janu— bapaknya Dipta untuk mengunduh kedelai. Mau bagaimana lagi, ini darurat.

"Aku biasa nganter bunga pakai mobil asal kamu tau, Ta."

Malam hampir larut, aksi mereka sebenarnya sejak beberapa jam lalu, tetapi mencari kondisi yang pas ternyata tidak semudah itu. Saat Ali—salah satu pelaku pembullyan yang bekerja sama dengan organisasi GNB—berjalan sendirian di trotoar jalanan yang lumayan sepi, baru aksi mereka berjalan dengan lancar.

"Dari awal aku gak yakin ide Dipta gak pernah gak gila," keluh Nai. Jemarinya membuka bungkus permen pentol yang sedari tadi ia rindukan. Membuka masker hitamya lantas menikmati permen dengan santai.

"Udah kayak kriminal belum?" Dipta menarik turunkan alisnya. Yang kemudian mendapat lemparan bungkus permen pentol dari Nai. "Muka kamu emang udah kriminal!"

"Bisa-bisanya kalian bisa sesantai itu padahal baru nyulik anak orang," sahut Aylin di balik maskernya, padahal sedari tadi jantungnya was-was setengah mampus atas tindakan mereka malam ini.

"WOI KALIAN SEMUA SIAPA, LEPASIN BANGSAT!" Ali berseru seraya memberontak di antara Nai dan Dipta di kursi belakang.

"Oh iya, karungnya belum aku buka. Gelap, ya?"

"Plis, lah. Jangan bercanda terus kamu, Ta," ujar Nai.

"Gelap. Mirip hidup kamu soalnya," pungkas Dipta tidak mendengarkan ucapan Nai sama sekali. Tangannya bergerak membuka karung yang menutupi setengah badan Ali. Untuk sekali itu, Ali bisa bernapas lega. Keringat membanjiri pelipis lelaki itu hingga dadanya berdegup kencang. Mendapati empat orang dengan pakaian serba hitam dan sebuah masker menutupi setengah wajah mereka. Ali menoleh ke kanan, hanya perempuan dengan permen pentol itu yang tidak mengenakan masker. 

"Hai, jangan takut. Kita gak gigit, kok. Paling dipukul aja."

Sorot mata Ali semakin ketakutan mendengar perkataan perempuan permen pentol itu. Tetapi, rasa-rasanya ia familiar dengan muka yang satu ini. Wira memperhatikan Ali lewat kaca mobil di depannya, terlihat sekali mukanya kebingungan. Apalagi, dengan kondisi tangan dan kaki terikat seperti itu. Ini semua adalah ide Dipta. Dan parahnya, mereka mengikuti ide-ide lelaki itu yang selalu ekstrem.

Kemudian ia menoleh ke kiri, menemukan seseorang yang lebih terasa familiar. "Dip...ta?" 

"Halo, masih ingat aku ternyata."

Ali adalah teman masa putih birunya Dipta. Dan kebetulan, mereka satu SMU. Beberapa waktu lalu, ia melihat Ali tengah merundung seseorang. Ia tahu lelaki ini telah berkerja sama dengan organisasi GNB. Berhubung ia tahu kelemahan dari Ali, maka ia pilih Ali sebagai target pengungkapan kebenaran. 

Ali takut balon.

Ya, sedikit ancaman semoga bisa membuat Ali buka suara di depan kamera nantinya.

"APA-APAAN INI, DIPTA?! LEPASIN, SIALAN!" Ali memberontak dengan kasar, bahkan kakinya menendang-nendang kursi milik Wira. Sudah dipastikan kalau tangan dan kakinya tidak terikat, lelaki itu pasti akan menyerang Dipta habis-habisan. Terlihat dari sorot kemarahannya.

"TOL—" 

"Lol, banget kamu, ngebully orang tanpa rasa bersalah aja kamu berani. Masa sama kita aja takut?"

(Lucu)

"Kita punya penawaran menarik buat kamu, Al."

Ali menatap seseorang di depan kemudi yang baru saja berbicara. Ia tidak menjawab, hanya memperhatikan lewat kaca depan dengan napas yang masih menderu.

Wira melanjutkan ucapannya, "Kamu mau buka mulut soal organisasi GNB, maka kamu aman."

Aylin tertawa geli dalam hati, tindakan mereka sudah seperti mafia. Tapi yang ini mafia amatir.

Ali bungkam selama beberapa detik. Baru sekali itu Ali menyadari orang-orang ini satu sekolah dengannya. Apalagi setelah matanya menatap bayangan pada kaca depan, ia melihat wajah perempuan di samping kemudi yang sangat familiar. Gadis keturunan China itu...

 "Brengsek, apa menariknya?" tanya Ali dengan suara gamang.

"Kalau kamu mau buat buka mulut, kami jamin setelah itu kamu aman. Gak usah takut sama organisasi, kamu jadi bagian dari kita."

Lihat selengkapnya