Sayangnya Ibu, kamu gak perlu nyusul jauh-jauh ke sini, Nak. Ibu janji pertengahan bulan ini Ibu pulang...
Euforia Wira meledak. Senyum mengembang sempurna. Tidak ada yang lebih bahagia pagi hari ini daripada menerima sepucuk surat dari negara tetangga. Apalagi, paragraf terakhir dari surat itu yang menyebabkan tawa Wira mengalun bahagia pagi hari ini.
"BANG JUNOO!" Wira berlari ke dalam kembali, memanggil Juno. Niatnya hendak berangkat sekolah dengan motor Vespa kesayangannya itu ia tunda.
"Bang, Ibu! Ibu akan pulang pertengahan bulan ini," seru Wira antusias. Tidak ia sangka ide konyol dari Dipta ternyata membuahkan hasil. Ia akan traktir Dipta bakso Mpok Rara hari ini!
Lelaki bernama Julaeno itu baru bangun, terlihat tengah mengucek matanya. Ia sedikit linglung, barangkali nyawanya belum terkumpul sempurna. Lantas ia membaca lembaran dari Wira. "Ini... dari Ibu?"
"Iya, Bang!"
Senyum Juno mulai mengembang. "Wir, kamu bilang apa sama Ibu sampai Ibu mau pulang, Wir?!" Kali ini bukan hanya mengembang, Juno terlihat sangat bahagia. Ia bahkan memeluk Wira dengan tawa sekaligus haru.
"Semoga, hari itu cepat sampai, ya, Bang."
***
"Ay, Ibu bakalan balik pertengahan bulan nanti!" ujar Wira antusias, bahkan lelaki itu mengguncang bahu Aylin.
"Beneran?" Aylin ikut berbinar. "Surat kamu dibalas?"
Wira mengiyakan, "Ini semuanya juga ide Dipta."
"Kan. Berhasil, kan?" Dipta muncul dari belakang diikuti Nai. Jemarinya menyugar rambut dengan percaya diri. "Adipta gituloh!"
"Istirahat nanti, kita ke kedainya Mpok Rara!" seru Wira.
"WIH, KENYANG DADAKAN!" Nai yang pertama kali bersemangat.
"Idih!" Nai kesal sebab siku Dipta dengan kurang ajarnya menyerempet kepalanya sewaktu menyugar rambutnya.
"Siapa suruh pendek," ledek Dipta.
"Kamunya yang ketinggian!"
"Kamu mau lapor sekarang, Ay?" tanya Nai yang diangguki Aylin.
"Kita tunggu di perpustakaan, nanti kalau udah, kamu ke sana aja ya, Ay."
Aylin mengangguki ucapan Dipta. "Iya, aku ambil laptopnya dulu," ujarnya sebelum beranjak.
-
Aylin melangkah dengan mantap, di tangannya ada sebuah laptop dan selembaran surat keterangan pelaporan mengenai organisasi GNB. Rekaman semalam telah ia pindahkan pada sebuah _flashdisk_ yang kini bertengger di sakunya, sebuah saksi bisu segala kebusukan organisasi GNB.
"Ay!"
Aylin menghentikan langkah, suara yang familiar untuk ia dengar. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya berbalik badan, melihat si pemanggil.
Namun, sesaat kemudian raut wajahnya berubah kala melihat kondisi wajah yang penuh lebam itu. "Arkandi, muka kamu kenapa?"
Arkandi meraba wajahnya sendiri. "Gak apa-apa, cuma luka kecil, kok."
"Kamu udah makan? Kita ke kantin, yuk?" tanya Arkandi seraya tersenyum manis. Aylin hampir lupa, dia telah bersepakat untuk menjalin hubungan dengan laki-laki itu.
"Istirahat kedua aja gimana? Aku ada rapat klub Bahasa Inggris soalnya," balas Aylin terpaksa berbohong. Sebisa mungkin menyembunyikan lembaran berisi laporan organisasi GNB.
"O..ke kalau gitu."
Aylin tersenyum, ia berbalik badan. Namun langkahnya terhenti sewaktu ia baru selangkah karena Arkandi kembali memanggil.
"Ay."
Aylin berbalik. Mengangkat alisnya tanda bertanya.
"Kamu hati-hati, ya."