MAHAWIRA

el
Chapter #16

15. Sekelumit Fakta Ren Rajaksa

"Ta, itu depan ada apa rame-rame?" Nai menepuk pundak Dipta sewaktu melihat jalanan di depan sana terlihat ramai.

Dipta memelankan laju motornya. "Kayaknya itu mahasiswa lagi demo, deh."

Nai memandang dengan lebih lamat. Benar, kalau Nai perhatikan mereka dominan menggunakan jas almamater yang selaras. "Kita lewat jalan lain aja, takutnya rusuh," ujar Dipta membelokkan motornya untuk melewati jalan lain menuju pulang. Walaupun yang ia lihat tadi mahasiswa yang masih cukup kondusif, tetapi ia antisipasi saja.

"Kamu tau, Nai? Di Jakarta udah mulai rusuh," ujar Dipta, ia melirik di kaca spion untuk mengobrol dengan Nai.

"Kondisi ekonomi di negara kita memang sudah memperihatinkan banget, Ta. Kira-kira, menurut kamu selain karena ekonomi, kerusuhan yang terjadi dipicu oleh apa?" sahut Nai setengah mengeraskan suaranya mengingat mereka tengah di atas motor.

"Politik?" Dipta hanya menyahut singkat.

"Miris banget kalau dengar berita penjarahan bahkan penganiayaan di mana-mana, mereka menyerang etnis Tionghoa yang gak jelas salahnya apa," ujar Nai mengungkapkan pendapatnya. 

Keduanya bungkam. Mereka sama-sama tengah berpikir. Sebelum akhirnya Dipta melirik pada kaca spion yang ternyata, mata mereka bertemu. "Jangan bilang kamu juga lagi mikirin Aylin?"

Nai tertawa pelan, menyanggah pikiran-pikiran menakutkan yang sempat terlintas. "Ya, semoga di sini gak terjadi kerusuhan, Ta."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu ajak aku pulang bareng, Ta, tumben banget?" tanya Nai dengan nada setengah meledek.

"Ya, memangnya kamu gak bosen pulang sekolah naik angkot terus?"

"Kayak gini terus aja, Ta. Mayan, kan, hemat ongkos, hehe!"

***

Pulang sekolah, Aylin dikejutkan dengan sebuket bunga yang bertengger di pintu rumahnya. Kebetulan, hari ini adalah jadwal ekstrakurikuler klub bahasa Inggris yang membuat Aylin pulang lebih lambat. 

Senyum Aylin mengembang, tanpa ia mengira pun, ia sudah tahu si pelaku.



Aylin mengambil seonggok kertas mini di dalamnya. Next boleh request, atau mau edelweis? :)

Ya ampun Wira, kamu hanya kasih aku bunga, tapi yang aku terima lengkap dengan kupu-kupunya.

Aylin tersadar saat bunyi terdengar dari ponselnya. Jemarinya bergerak menempelkan pada telinga. "Halo, Bu?"

Halo, Nak. Kamu baik-baik aja di sana?"

Aylin bergerak membuka pintu. "Baik, Bu."

"Ibu lihat berita di mana-mana lagi rusuh. Gimana di Surakarta, Ay?" suara Ibu di seberang sana terdengar menuntut. Terdengar khawatir. Terdengar seperti seorang ibu.

"Di sini masih aman, Bu."

"Ibu besok sampai di sana. Kamu jangan keluar-keluar, ya. Kunci pintunya," titah paruh baya wanita itu di balik telepon.

"Iya, Bu."

Aku sudah biasa sendirian.

***

Hari Selasa ini, Aylin seharusnya sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu. Tetapi, Mang Suto mengabari katanya mobil yang yang biasa dibuat untuk menjemputnya itu mengalami mogok di tengah jalan. Pria tua itu rela mendatangi wartel terdekat untuk mengabarinya. Jadilah Aylin akan naik angkot saja, tetapi bahkan sejak sepuluh menit lalu kakinya masih berpijak di sini. Dari lantai atas, ia memandangi Wira yang tengah mendribble bola basket dengan fokus. Tanpa lelaki itu ketahui.

"Aylin?" 

Aylin terlonjak sedikit, senyumnya luntur tatkala sedang fokus memperhatikan malah diganggu. Ia menoleh ke samping, mendapati Ren Rajaksa dengan buku-buku di tangannya.

"I..ya." Aylin langsung berpikir cepat. Apa Ren tahu bahwa Arkandi membocorkan rahasia kepadanya?

"Murid pintar IPS 2 yang mecahin teori dari salah satu pelajaran sosiologi," ucap laki-laki itu dengan muka yang terlampau datar kalau menurut Aylin.

Aylin tidak menjawab.

"Aku ada tugas dari Bu Yuyun, boleh ajarin aku soal teori itu?" tanya Ren.

"Tugas dari Bu Yuyun?"

Gak, aku bohong. Ren mengangguk singkat.

"Kalau mau, kita belajar sekarang."

Aylin mengerjap. "Di mana?"

Ren berpikir sejenak. Diam-diam, jemarinya mengepal di saku celananya. 

"Di... rumahku?"

Lihat selengkapnya